Kemana saja

175 12 0
                                    

"Ajeng!" lelaki itu tak bisa menutup mulutnya yang ternganga, terlalu terkejut oleh pemandangan di depannya. Wanita ini ternyata masih bisa ditemui dalam keadaan seperti ini. Tapi, lelaki itu berpikir logis, tak ada waktu untuk melepaskan rindu sedangkan ia harus bergerak untuk memastikan makanan dan tempat tinggal bagi kelompoknya malam ini jika tak ingin menambah korban baru.

"Aku harus pergi." ia menatap wajah wanita itu sekali lagi, lalu bergegas pergi.

"Tunggu!" wanita itu ternyata lebih gesit dengan menahan tangan lelaki itu, lalu mengengamnya sangat erat. "Kau tak perlu memastikannya. Ayo, kalian tamuku." wanita segera melepas genggamannya, lalu bergerak memanggil kusir kereta keratonnya. Wanita itu menepuk lengan lelaki itu, menyadarkannya dari kebinggungan yang melanda. "Pendopo itu miliki Kang Mas-ku, mengundang temanku yang telah berjuang pontang-panting tentu tak masalah, meski waktu kalian memang salah. Aku harus pergi lebih dulu dan berusaha menyambut kalian dari dalam. Sampai jumpa sesaat lagi, Didit-ku!" wanita itu bahagia, olehnya senyumnya tak mungkin lepas, apalagi melihat wajah melongo pria tanpa banyak kata di depannya ini.

***

Pendopo ini masih sunyi ketika ia tinggalkan, ia mengendap lalu bergegas menghadap Kang Masnya, Adipati menggantikan Romonya tapi untuk bagian selatan, sedangkan wilayah utara hanya dikendalikan dari sini. Sejak Romo meninggal, semuanya jadi terlihat menyedihkan bagi Ajeng, terlebih kakak-kakaknya yang sudah menikah dan tinggal di tempat lain.

"Ampun Kang Mas, adinda menganggu waktu istirahat Raden Mas Adipati di malam yang dingin."

"Sampaikanlah, adinda. Apa yang kau ingin sampaikan!"

Wanita itu menyampaikan tentang kedatangan kelompok itu dan meminta permintaan rahasia. Semuanya tampak curiga melihat wajah berkerut adipati tersebut, tapi kemudian wajah itu tersenyum dan menahan tawa untuk kalimat berikutnya. "Baiklah, ini hadiahku untukmu, Adinda."

Rombongan itu disambut dengan hangat, diberi baju ganti, lalu diajak makan malam bersama. Sambutan selamat datang disampaikan Kang Mas Adipati sesudahnya, lalu mereka bercengkrama dengan akrab. Sedangkan rombongan itu diwakilkan oleh Raditya, pemimpin mereka dan satu-satunya darah biru yang mampu melayani obrolan ini.

Ajeng terlihat terlalu lelah menunggu bom akan dijatuhkan, ia menatap kang masnya dengan seksama, ketika didapatkannya tatapan balasan kang masnya, ia mengangguk, mengisyaratkan inilah waktu yang tepat memenuhi janji kang mas yang dipaksanya tadi.

"Bisa kita berbicara hanya berdua, Raden Mas Raditya?" pertanyaan ini sebenarnya hanya bentuk permintaan halus versi keraton.

"Inggih, Raden Mas Adipati. Dengan senang hati."

Mereka berjalan menuju meja kecil di ruang tengah. Ajeng mengikuti dengan ekor matanya, memanipusi dengan pandangan menunduknya. Ia bergegas keluar dari tempat persembunyiannya ini, lalu mencari cara menguping pembicaraan dua orang ini.

"Ada apa, Kang Mas?"

"Ah, santai saja. Ini bukan tentang hal yang berat. Aku sering mendengar tentangmu dari Romo."

"Inggih, kang Mas." bahasa halus untuk siap mendengarkan pembicaraan selanjutnya.

"Yang aku baru tahu sesudah kematian Romo, kau adalah anak lelaki yang dulu dijodohkan oleh adikku, Ajeng."

"Inggih, Kang Mas."

"Ini terdengar aneh, herannya Dewi maupun suaminya tak menceritakan ini padaku, meskipun Ajeng hilang ingatan waktu itu."

Radit tidak bisa merespon dengan baik. "Ampun Kang Mas, maksudnya apa dengan hilang ingatan?"

"Ah, kau tak tau ini?" pertanyaan itu sudah terjawab dengan wajah melongo Radit.

"Ajeng lupa ingatan tepat setelah ia sampai kembali. Rupanya ia terlalu tersiksa oleh kenyataan Romo meninggal dan juga terpaksa meninggalkanmu demi perjodohan yang sebenarnya dengan kau juga. Dia akan sakit kepala berat ketika kami berbicara tentang perjalanannya di Londo. Beberapa bulan terakhir, ia ternyata berhasil sembuh, tapi kabar kurang baiknya, ia lebih berani menghimpun pejuang kemerdekaan tak terlihat. Dilatihnya panah, diajarinya menulis dan membaca, lalu diperintahnya melindungi pasukan pemberontak yang terdesak. Awalnya aku tak mengerti dengan jalan pemikirannya, ternyata ia ingin mencarimu kembali dengan cara ini."

Raditya tak dapat berpikir dengan baik. Kelelahan berhari-hari, teka-teki, dan kewaspadaan tingkat tingginya banyak menguras energinya. "Lalu, apa maksud semua cerita ini?" pria itu bertanya, tapi lebih menuntut haknya segera mengetahui maksud tersembunyi.

Raden Mas Adipati berdeham, tapi usaha terlambat dibandingkan pengerakan mendadak dari adiknya yang kini sudah bersimpuh di hadapan Raditya. "Tolong nikahi saya, Raden Mas Raditya. Bantu aku memperjuangkan kemerdekaanku. Saya mohon dengan sangat."

Bersambung...

One chapter left...

(Bukan) Gadis KeratonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang