Wasiat

106 13 0
                                    

Aku menghela nafas lega saat ini, menyaksikan bahwa keajaiban itu pasti ada. Coba lihatlah, Dewi ada di hadapanku saat ini. Tentu saja, aku sudah memeluknya sangat erat, rasanya seperti kesempatan kedua untuk bisa kembali ke rumah. Tapi, kebahagiaan itu sudah seharusnya tak berlebihan, seperti saat ini,aku terpaku sebab kalimatnya yang sudah diulangnya berkali-kali.

"Ya, Ajeng. Kamu tidak salah dengar. Kamu harus kembali dan menerima perjodohan ini." wajah cemasnya di sela kebahagiaanku, ternyata tentang ini.

"Kenapa?" ucapku pelan.

"Ah tidak, maksudku, siapa?", lanjutku.

"Romomu, Ajeng. Ini sudah disiapkan bahkan sebelum perjodohan diriku." jelas Dewi.

"Aku bahkan sudah memiliki anak-anak, bukankah itu artinya kau memang tak memiliki pilihan untuk mengelak." lanjut Dewi, meski berat tapi terlihat sudah menumpahkan semua beban yang dibawanya.

Aku terdiam. Ah, tidak, aku berpikir terlalu keras, bahkan untuk perut yang belum terisi sejak 12 jam terakhir. Ketika ku temukan secercah cahaya, saat itulah mataku kembali menarik cahaya, menatap Dewi menimbang-nimbang.

"Bagaimana jika aku tak usah pulang? Bukankah perjodohan ini takkan terlaksana?" tanyaku, lebih tepatnya aku menodong Dewi untuk menyetujui jalan keluarku.

"jeng," ucapnya terpotong, sebab aku lantas beragumen lagi.

"Kau bisa pura-pura tak menemuiku disini. Aku bisa tenang, ah tidak! Ya, tak apa. Meski aku layaknya manusia terbuang, asalkan tak menyetujui ini."

"Aku tau kau sudah cerdas sejak dulu, Jeng. Kepalamu juga sangat keras bagaikan baja. Tapi, hey, coba dengarkan aku. Kamu, Ajeng Sosrodiningrat, tidak bisa kabur meskipun kau bersembunyi di lorong tikus kota ini."

"Kenapa? Memangnya sehebat apa dia?"

"Coba sekarang ku tanyakan alasan kamu menolak perjodohan ini, kenapa?"

"hmm, itu karena aku tak mungkin mengigit lidahku sendiri. Sakit!"

Dewi malah tertawa, kemudian melirikku kilat, geleng-geleng kepala, lalu tertawa lagi dengan lebih kencang.

"Dewi..."

"Maafkan aku, Ajeng. Aku hanya sedang heran. Gadis keraton cerdas sepertimu yang bahkan otaknya sangat keras kepala ini ternyata menolak perjodohan akibat ikrar khoyolnya." jelas Ajeng sesudah ia mulai tenang.

"Baiklah ini memang konyol, tapi aku jelas tak ingin menikahi orang yang tak pernah ku kenal sebelumnya dan tak mengenalku."

"Lagipula, belum tentu kisah ini sebagus akhir perjodohanmu, Wi."

"Coba liat aku, sayangku. Coba liat mataku. Apa aku pernah tak memastikan yang kau inginkan tercapai. Kau ingin pergi ke Londo pun, meski mustahil aku bantu. Kau ingin jadi mata-mata pun juga ku bantu. Ingatlah juga Romomu, Jeng. Apa beliau pernah tak memastikan kau aman dan bahagia dengan semua keinginanmu. Begitupun dengan yang lain. Kau terlalu beruntung sehingga tak ada celah untuk mengeluh kepada takdir. Kamu kesayangan semua orang, Jeng."

Aku ingin mrmbantah, tapi mataku tak mampu menahan aliran air mata yang sudah lama memendam keinginan menerima pengakuan sayang ini.

Bersambung...

(Bukan) Gadis KeratonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang