Strategi

149 19 4
                                    

Halo semua!
Kita jumpa lagi (yaeyalah) haha

Okeh, sebelumnya maafkan updatenya lumayan lama, sebab ada kegiatan menarik lainnya di dunia nyata, ya elah bahasanya 😂

So,
Enjoy ya!

Terima kasih apresiasinya.
Yoo, sama2 😙

===

Aku selalu senang berjalan di pinggiran sungai ini seolah membawaku kembali kepada kebiasaan sore di setiap sabtu dalam seminggu. Sungai yang mengalir selalu membawa rindu dan kehangatan. Seakan arusnya bagaikan pos berjalan yang mengantarkan surat tanpa kantor pos. Bedanya, ketika berjalan di negeri Londo ini jejeran bangunan tinggi hanya menyisihkan jarak antara bangunan-sungai untuk para pejalan kaki dan pelaku sepeda.

Saat aku berjalan di senja yang mulai menguning itu, seseorang tampak mengintaiku. Hariku takkan pernah sama, sepertinya kegembiraan kecil ini harus menyingkir. Sejak kaki berbelok di persimpangan terakhir beberapa menit yang lalu, sosok itu tampak tak bisa mengendalikan diri sehingga semakin jelas mengikuti.

Aku bergegas memasuki telepon umum, memasukkan beberapa koin. Jarak orang itu memberi waktu 1 menit atau lebih jika mempertimbangkan ramainya kerumuman di hari Thankgiving ini. Sayangnya, koinku macet hingga waktu satu menit tak berarti. Kebimbangan menyergapku, apa harus pergi saja atau bergegas menelpon Didit. Astaga, aku sebal mengakuinya tapi ketergantunganku semakin parah kepadanya. Keadaan menjepitnya ini membuat bulu kudukku berdiri sebab seram.

"Romo, maafkan Ajeng berbohong selama ini. Ampuni anakmu ini, Romo. Aku cinta Romo!" kalimat wasiat itu segera ku ucapkan dalam hati. Semoga Tuhan mendengar dan menyampaikan sesudahnya. Ya, aku sudah menyerahkan diri disergap, diculik bahkan melayangkan nyawa.

Ketika pintu telepon umum itu terbuka, aku semakin menegang. Berusaha sedikit defensif dengan menundukkan kepalaku, mengkerut. Menggunakan energi yang bisa dikeluarkan, tapi sia-sia energiku terlalu terkuras oleh ketakutan berlebihan ini. Ah, mengapa aku tak bisa berlari?

Aku bisa merasakan tangan ini telah mendarat ke bahu kananku. Astaga, aku bahkan tak bisa menggerakkan jemari sebab terlalu tegang. Sayangnya, tangan itu malah membalikkan badanku, mengarahkannya kepadanya. Kepalaku tetap menunduk, tak ingin lebih tersiksa oleh mata penjahat itu.

"Aku mohon siapapun, selamatkan aku!" kata-kata itu benar-benar keluar dari mulutnya. Tapi, tak ada guna sebab orang Londo pasti tak memahami secara penuh yang ku sampaikan.

Saat ku pikir, tarikan kasar atau apapun berbau kekerasan segera menyergapku. Tiba-tiba tawanya meledak. "Hah? Dia tertawa?" Otakku berputar, menimbang termasuk kelompok mana orang ini, tertawa lucu atau meremehkan.

"Ajeng." ku dengar sama diantara tawa yang mulai mereda.

"Siapa?" ucapku dalam hati. Hanya Didit dan Lastri yang ku tahu di Londo, beberapa teman kuliah jelas tak mengenali penampilan asliku. Mataku melakukannya tanpa perintah, wajah itu tampak tak asing tapi dimana aku menemuinya?

"Ah iya, ternyata benar kamu. Ku pikir aku salah orang." tangan lainnya lelaki itu sudah menumpu bahu kiriku.

Aku mengangga. Lalu, menghembuskan napas. Aku butuh oksigen untuk bisa lebih cerdas menyadari hal apa yang terjadi di hadapanku.

"Aku Dimas, teman Indonesia Didit." wajah lelaki itu menilai ekspresiku. Tak pasti bagaimana aku menanggapi, diriku terlalu sibuk merasa keluar dari ancaman maut, walau kini lebih menampakkan diriku sebagai paranoid.

Bersambung. . .

(Bukan) Gadis KeratonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang