Klik

98 13 0
                                    

Di tengah udara yang mulai menghangat memasuki musim panas, seorang pemuda itu yang tampak dengan sepedanya berhenti di sungai yang membendang menjelajahi kota.

"Gimana, To?"

"Sabar lah, mas. Dia masih dibujuk."

"setidaknya biarkan aku ketemu dia. Ayolah!"

Lawan bicara lelaki itu malah menatap curiga, lalu tertawa.

"Segitunya, mas. Pasti berhasil kok kali ini. Sabar ya mas."

Lelaki itu mendesah panjang.

"Kamu tidak tau rasanya ditolak sekiam kali, To. Apalagi setelah.."

"Setelah apa? Tinggal bersama?" suara itu menantang lelaki itu, tapi ia tampak hanya terkejut, ingin mengumpat tapi urung dilakukannya.

"Kamu tau gimana keadaannya. Ini tak seperti yang kau ucapkan."

Lawan bicara yang sudah menunggu lebih lama, hanya tersenyum. Lalu mengarahkan pandangan pada angsa yang berenang bersama sesamanya.

"Aku tau kau tak bisa melepaskannya lagi. Tapi, kau tau kan dia tak pernah menyukai topik ini. Gadis keras kepala itu hanya memikirkan..." ucapan lawan bicara ini terpotong oleh lelaki itu.

"Kemerdekaan bangsa."

Lelaki itu tak tampak marah, tapi sungguh tertawa menggelikan.

"Aku tak percaya ini beneran kamu, Mas Radit."

Lawan bicara lelaki itu beranjak, lalu berhenti untuk menepuk pundak lelaki itu.

"Tenang saja, kau tau bahwa tak ada yang sanggup melawannya setangguh kamu, Mas. "

"Aku berharap ucapan itu bukan hanya caramu menyenangkan hatiku."

Lelaki itu tak bisa menahan tertawanya terdengar keras. "Aku akan menemui istriku dulu. Dewi pasti sudah membawa banyak cerita dari pertemuan dengan garis keras kepala itu."

"Hati-hati ya. Terima kasih, To." lelaki itu tampak terlalu lemah untuk memikirkan kemungkinan ditolak lagi.

"Iya, mas. Terima kasih kembali. Omong-omong, aku merasa kasihan Ajeng bahkan tak sampai satu semester menghabiskan waktunya sebagai mahasiswa disini." lawan bicara lelaki itu lantas menghilang.

Lelaki itu tampak tertegun memikirkan perkataan terakhir dari lawan bicaranya. Ia membenarkan perkataan itu. Meski itu akibat kecerobohan gadis itu sendiri, tapi bukan berarti status "kasihan" takkan hilang darinya. Seketika ia memikirkan ide baru.

***

8 tahun lalu.

"Hari ini hari penting bagiku. Aku tak tau siapa dirimu, tapi jadilah luar biasa. Aku tak ingin wanita pendampingku membosankan." anak lelaki bangsawan itu merapikan blangkonnya dan berbicara dengan dirinya sendiri di depan cermin.

Setidaknya, sebelum ia pergi menjelajahi benua eropa, ia kan dinikahkan sesuai perjodohan yang sudah disusun bahkan sebelum ia menghirup udara dunia ini secara langsung.

Anak lelaki itu turun dari keretanya, setelah Romo turun lebih lebih dulu. Beberapa petuah Romo didengarnya dengan baik di kereta. Ia sudah menyiapkan diri dengan baik, bahkan berusaha tidak terkejut dengan apapun kenyataannya nanti.

Dari dalam rumah, terdengar perdebatan anak dan romo dari pemilik paviliun ini.

"Ajeng, cobalah untuk kali ini tidak keras kepala."

"Mohon ampun, Romo. Ajeng bukannya menolak, tapi alangkah lebih baik menunggu setidaknya 3 tahun lagi. Tidak baik untuk kesehatan ibu dan anak yang akan dilahirkan jika penikahan terlalu dini ini dijalankan."

"Ajeng!"

"Mohon ampun, Romo. Ini bukti penelitian yang Ajeng baca. Mohon dipertimbangkan, Romo!"

Terdengar perdebatan itu tertunda, Romo lelaki itu sudah terlihat gelisah. Beberapa kali ia melirik ke anak lelakinya. Tentu saja berharap tentang sesuatu yang jelas tak bisa ditutupi. Calon mantunya keras kepala dan berpikir layaknya laki-laki.

"Tampaknya waktu kita salah, Raditya. Bersiaplah untuk pulang sesaat lagi." ucap Romo lelaki itu dengan mata yang mengguratkan rasa iba akan nasib anak lelakinya ke depan.

Bersambung....

(Bukan) Gadis KeratonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang