Bagian Tak Berujung

99 10 0
                                    

Kepada ananda puteriku tercinta, Ajeng Sosrodiningrat.

Semoga keadaanmu baik-baik saja dan masih bisa mencapai keinginan yang kau inginkan. Ananda, maafkan kesalahan Romo untuk membiarkan dirimu pergi menjalankan ide keras kepalamu begitu saja. Romo sudah bertemu dengan Lastri, serta sudah mengetahui keadaan gentingmu.

Ananda puteriku Ajeng, mengertilah. Romo sangat menyanyangimu tanpa ukuran. Olehnya, jika bisa Romo akan mengabulkan ini kepadamu sejak dulu. Maka dari itu, ketika pemuda itu datang, Romo tau kau takkan pernah bisa dalam bahaya. Tapi, Romo terlalu naif. Bagaimanapun Romo sendiri pun sulit menjagamu disini, padahal ini tanah kita sendiri.

Ananda Ajeng, tanah air kita saat ini sedang menangis meraung melalui hujan tak kunjung reda. Air matanya tak terbendung bahkan oleh Begawan Solo yang tak berhenti mengalir. Ajeng anakku, waktu Romo rasanya sudah semakin dekat kepada ketidakberdayaan. Pasukan sekutu itu terus mengawasi semut kita, Romo mohonkan kepadamu. Janganlah pulang dulu. Cobalah sedikit lebih menurut kepada putera mahkota Raditya. Romo tau kau cukup cerdas mengakui keahliannya. Percayalah kepadanya.

Romo yang penuh cinta.

Surat itu terasa berat meski hanya secarik kertas yang lusuh yang diselipkan dalam paketan kain kebaya untukku. Romo untuk pertama kalinya memberikanku petuah begitu dalam melalui sebuah surat. Tak banyak yang ku ingat terakhir kali kami duduk berdua, meminum kopi dari perkebunan kami sendiri. Ah, rupanya itu hanya kenangan di masa kecil saat aku hanya perlu bersemangat memulai hari untuk melakukan banyak hal baru.

"ndoro ajeng?" suara berat itu mengejutkanku sedikit, menarik paksa diriku dari kenangan bersama Ayahnda tercinta untuk puteri bungsunya yang terlalu keras kepala.

"Ah, Didit. Terima kasih!" kata-kata itu seharusnya ku katakan ketika menolehkan wajah kepadanya. Tapi, ternyata yang terucap hanya isakan tangis dengan sungai mengalir yang melalui pipiku. Ya, aku menangis tersedu membaca surat yang seharusnya terbaca 2 minggu yang lalu, hari dimana saat itulah teman Didit malah menemui diriku pingsan, tak sadarkan diri.

Saat diriku tergulung oleh pusaram kesedihan, terlebih ketika tak sengaja ku dengar percakapan Didit beberapa saat yang lalu.

"Mengertilah, Kawan. Aku tak mungkin bisa pergi saat ini. Ajeng masih lemah, tapi lidahku terlalu kelu menyampaikan Ayahnya sudah tiada."

"...Ayahnya sudah tiada..." ucapan itu membuatku beku di tempat, lebih kaku dibandingkan sungai dan danau yang mengeras menjadi es. Didit berhasil menyampaikan walau dengan cara seperti ini. Dan disinilah aku, di dalam kamarnya setelah terlalu lemah dan tak percaya, mencoba menyakinkan diriku untuk tidak mempercayai hal itu. Mungkin saja diriku salah dengar. Saat ku ingin mencari kertas untuk menulis surat langsung kepada Dewi. Saat itulah aku menemukan surat sedih itu, masih rapi tapi jelas diaembunyikan dari Ajeng keras kepala tapi lemah fisiknya ini.

"Ajeng!" suara itu entah sudah berapa kali memelukku. Hingga ketika ku coba menggambil kewarasanku, diriku merasakan kehangatan melalui derakan menguatkan dari pemuda tangguh ini. Ia mengusap punggungmu pelan untuk memberikan sedikit kekuatan. Aku lelah hingga akhirnya ku menyerah, lalu bergegas tertidur dalam pelukan nyaman itu, membayangkan Romo memelukku lembut ketika hujan dan petir menyambar di antara guyuran air dan angin yang hebat.

Bersambung...

(Bukan) Gadis KeratonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang