Pernah merasa heran diperlakukan berlebihan, tapi orang lain melihatnya wajar. Ya, aku disini terlalu membenci hujan yang melumpuhkanku. Sesudah orang itu berkata, "Gawat!" aku jelas tak bisa bertanya apa yang terjadi. Diriku hanya mengangga tanpa alasan yang mengherankan. Mereka berlebihan menurutku, menarikku kesana-kemari, mempersilakan diriku menunggu di perjalanan pintas melalui lalu lintas tikus, ulat, dan binatang terbuang lainnya. Gorong-gorong a.k.a selokan itu.
Aku menghela napas, terpaku pada arah perjalanan yang membelokkan niatku sebelumnya. Seharusnya sekarang Didit sudah berkata "iya" untuk keluar dari organisasi aneh. Seharusnya tatapan mata bersalah, memohon ampun diriku. Tapi, kendali bukan di tanganku lagi. Didit yang seharusnya ku ajak kabur, bukan aku yang dibawa kabur dia. Sejenak dalam hati mempertanyakan, "apa keputusanku benar-benar salah menginjak kaki di tanah Londo ini?" batinku bertengkar membawaku menapaki jejak masa lalu itu.
***
Suara burung terbang, bersiap menyongsong hari, mencari makanan untuk keluarganya, dan kembali secepatnya untuk menghangat tubuh sang anak. Tidak terlalu menjadi pemandangan utama, sebab samar tapi pasti suara alunan di keraton menggema di kamarku. Sembahyang pagi hari.
Seharusnya aku duduk disana juga. Tapi, hukumanku belum berhenti. Aku dikurung sebab ide lancang yang berani ku lontarkan.
"Romo, izinkanlah Ajeng pergi menjalankan tugas itu." duduk bersimpuh, menatap lantai, berharap cemas.
"Tidak! Kamu perempuan! Ini bukan saja melanggar perjanjian dengan Londo, tapi sama halnya menantang adat-istiadat."
Aku bergeming, namun enggan untuk menawarkan hal yang sebaliknya.
"Romo tak bisa membiarkan hal ini. Pergilah ke kamarmu, jangan keluar selama seminggu!" ujar Romo tanpa ragu, lalu berlalu menjauh, meninggalkanku sendiri.
Aku lemas dihukum seperti itu. Semua niatku yang telah disiapkan bukan saja di undur seperti biasa, tapi kini harus batal, begitu saja.
Kenangan buruk itu ku ceritakan pada Dewi, sekedar melepas sesak dalam dada.
"Apa salah keinginanku ini, Dewi? Kebinggungan tak pernah berhenti menyelimutiku, bahkan terkesan semakin menumpuk. Jika berkenan, maukah kau datang berkunjung ke rumahku. Ada hal yang ku sampaikan secepatnya. Tak bisa melalui surat.
Tertanda,
Ajeng Sosrodiningrat"
Beberapa saat kemudian, ia datang berkunjung. Dewi yang masih memiliki ikatan keluarga dengan Romo tak masalah mengunjungi kapanpun.
"Uwalah, kamu ini Jeng. Luar biasa!" hamburnya ketika kami sudah berada di kamarku.
"Seandainya "Luar Biasa" yang kamu ucapkan benar memuji, mungkin aku bisa sedikit tersenyum. Berhentilah menyinggungku, Wi." wajahku kesal. Kehadirannya setidaknya bisa menenangkan, bukannya mendorong diriku semakin terpuruk.
"Wah, Putri Gubernur marah nih. Seram juga ternyata." tawanya meledak kemudian.
Aku tak membalas, hanya sekilas menatap tak suka, lalu membuang muka.
"Ya, maafkan aku. Berhentilah merajuk. Aku bawa solusi buat kamu kali ini."
"apa?" jawabku antusias, melupakan kejengkelan tadi.
"Didit." jawabnya pasti.
Aku heran. Tak biasanya Dewi penuh teka-teki. Aku hanya mengangkat daguku sedikit, bertanya 'apa maksudnya?'
Bersambung...
AN sebenarnya bagian favoritku, loh?
Terima kasih loh ya yang sudah vote sebelumnya. Kalau bisa sekalian ya dari part pertama. 😏Mohon maafkan ada typo, dan kalau ada mohon diberi komentar. Nuhun.
Kalau ada yang janggal, mohon masukan ya. Maklum. Putri keraton suka lupa tradisi dulu wkwk.Menurut kalian darimana sih asalnya Didit? Cakep ga ya dia?
Salam,
Yang lagi hilang fokus pas bicara tentang Didit.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Gadis Keraton
Historická literatura#80 HR in Historical Fiction (18/05/2018) Ajeng, gadis belia berumur 17 tahun yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada kesusahan berarti dalam hidupnya, kecuali siksaan diri dari keinginannya bergabung dalam organisasi memperjuangkan kemerdekaan bang...