Cuaca di negeri penjajah ini ternyata lebih dingin, akibatnya beberapa kali aku harus meringkuk di dalam selimut dan semakin kelaparan. Ya, tentu saja alkohol bisa membantu, tapi jelas itu terlarang. Bukan hanya itu, aku juga tidak suka rasa menyengat ketika menyicipinya dulu.
Aku tak menyangka 30 hari terasa berat, meski aku sudah sering mengurung diri. Aku tak menyangka akan jadi seperti ini kisahnya. Andai saja, aku tak memiliki keinginan gila dan tidak wajar ini, aku sudah pasti ada di keraton dilayani banyak orang. Ah, tapi aku bisa mati bosan seperti itu. Bersikap seakan tak tahu apa yang terjadi, membiarkan rakyat dipaksa kerja tanpa upah.
Aku mengingat kembali hal penting yang ku selipkan dalam curhatan hati perempuan. Itu cara termudah, tak ada yang peduli dengan surat antar sahabat, tidak jauh dari kata-kata jemu adaptasi yang susah atau cinta melalui lirikan. Negara penjajah ini memutuskan mengirim bantuan untuk rakyat jelata, hal itu tampak bagus. Tapi, tentu saja aku mengabarkan jua gerakan mencurigakan. Sayangnya, aku hanya bisa mengatakan ini firasatku sebab tak ada bukti.
Menjadi mahasiswa baru disini, sebagai pribumi, meski berdarah biru tak semudah yang ku bayangkan sebelumnya. Ku pikir bisa mendorong Didit menjauh, memiliki kehidupan sendiri dengan perjalanan pertamanya di negeri penuh daya ini. Ah, coba liat sekarang. Ia bahkan menyediakanku roti dan minuman coklat hangat di musim dingin yang hampir mematikanku. Ya, aku ternyata benar-benar membutuhkannya.
Samar aku dengar, percakapan dua orang pemuda disampingku. Satunya sudah pasti Didit, tapi lelaki lainnya tak dikenal. Bebahasa Jawa memang, dari tutur kata dan intonasi suaranya, mungkin juga berdarah biru. Aku memcoba membuka mata, memastikannya. Kenyataan membuatku kecewa, mereka berbicara beberapa langkah dariku, hanya bayang-bayang yang dapat ku liat di pembatas dinding ruangan ini.
Tunggu dulu, seketika aku merasakan kepalaku berat, lenganku kaku sebab jarum infus yang terpasang, serta tenggorokanku yang begitu kering. "Haus" aku mencoba meminta air, tapi tak ada suara yang ku dengar. Aku tak sanggup untuk kehilangan suara. Aku hanya pasrah, badanku ternyata masih lemah. Kemudian, lari di pengununan indah yang hijau di dekat rumahku.
Flashback on
Didit tergesa-gesa, bahkan terlihat jelas kehabisan nafas saat memasuki gedung besar yang kokoh ini. Ia sudah mengkhawatirkan tuannya yang memang sangat keras kepala. Tapi, tentu saja tak mudah mencari gadis ningrat itu, sebab penyamaran yang digunakan. Saat ia mencoba bertanya kepada beberapa orang di kampus itu, hasilnya tak memuaskan. Ia tampak seperti manusia sesat di tengah lautan manusia. Lalu, seseorang menepuk bahunya.
"Kamu Indonesia?" tatap penuh selidik seorang pria, penyelamatnya.
Jantung Didit hampir meledak karena kaget, peralihan rasa putus asa dan secercah terkabulnya harapan. Ketika melihat lelaki yang dihadapannya, Didit sudah mampu mengenali kalangan ningratnya.
Wajah kedua orang baru kenal itu tak terbaca, saling berpikir keras.
"Dia wanita Indonesia dengan samaran aneh?" undang tanya laki-laki itu, seakan tak menerima kata tidak.
"Maaf, tapi saya pikir begitu." Didit sedikit membungkukkan badannya, rasa hormat kepada ningrat.
"Kehebohan di Aula beberapa menit yang lalu melibatkan wanita Indonesia, tak ada salahnya kita mencoba"
Bersambung
Nih baru diupdate, tapi ternyata terklik duluan hiks. Ga nyadar pula 😢😢😢
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Gadis Keraton
Historical Fiction#80 HR in Historical Fiction (18/05/2018) Ajeng, gadis belia berumur 17 tahun yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada kesusahan berarti dalam hidupnya, kecuali siksaan diri dari keinginannya bergabung dalam organisasi memperjuangkan kemerdekaan bang...