Hujan yang turun sore ini menghalangi keinginan matahari untuk bersinar. Ketika dulu di tanah jawa, Radit bisa mengenang dengan jelas apa makna dari hujan panas. Panas yang tetap berterik meski hujan mulai tak tahan menurunkan dirinya melalui tetesan kecil yang tak terasa menyegarkan. Hujan panas sering diartikan sebagai kesedihan langit ketika merelakan orang besar nan baik hati meninggal dunia. Radit tau kali ini pun tak jauh beda, walaupun tak ada yang meninggal. Ia tahu bahwa keinginan terpendamnya tentang gadis dihadapannya ini harus berakhir. Bukan sebab dirinya, tapi hanya karena gadis itu. Hidup dengan keinginan besar itu, menjadi mandiri dan terlibat langsung demi kemerdekaan bangsa, sangat tidak masuk akal untuk menyerahkan diri pada pernikahan.
"Terima kasih, Didit!" ucap Ajeng, lalu berlalu pergi.
***
Ajeng berendam diri dengan air panas setelah pulang. Tentu saja, Dewi tak lepas untuk mengomelinya dengan bahasa Jawa di luar kamar mandi. Ajeng merasa bersalah, ia lantas hanya mendengarkan. Tapi, ada satu nama yang membuatnya tertarik pada percakapan tadi.
"Untung Didit bertindak cepat. Sudah kuduga kalian cocok!"
"Cocok? Yang benar saja," gumamnya, setelah mengurungkan niat untuk bertanya lebih lanjut. Air di bak mandi sudah tak hangat, ia harus bangkit atau memilih membeku. Meski harus mendengar omelan ibu tiga anak di luar sana.
"Ajeng, kamu dengar aku kan?" tangan Dewi menahan lengan Ajeng untuk mendapatkan perhatian dari mata coklat bening gadis keras kepala ini. "Aku akan menerima perjodohan ini, Kakak Dewiku sayang!" Ucapan itu bagaikan petir bagi Dewi. Gadis ini menyerah, bahkan sebelum tahu bahwa lelaki itu adalah orang yang dikenalnya. "Kau tidak ingin bertanya siapa orangnya?" Balasan Dewi itu hanya mendapatkan gelengan kepala Ajeng.
"Aku lelah, tak ingin berpikir berat, sudah waktunya selesai berpetualang. Aku harus pulang, meski artinya menghancurkan yang ingin ku bangun." Ajeng menaiki tempat tidur, lalu menarik selimut.
"Tapi, dia orang yang kau kenal, Ajeng sayang. Aku tau kau mengenalnya." ucapan Dewi resah. Bagaimana mungkin gadis ini jadi begitu lembek? Tapi tak ada jawaban dari Ajeng, lalu ia melanjutkan perkataannya, "tentu kau tak masalah jika dia Didit yang menemanimu selama ini, kan?" Dewi terlalu pasrah, ia tak mendapatkan kejutan seperti perkiraannya. Ketika ia ingin marah dengan segala tenaga, ia harus sadar gadis ini sudah tertidur lelap, entah ucapan mana yang diserapnya sebelum tidur.
"Percayalah pada takdir Tuhan, Ajengku sayang. Kamu akan bahagia dengan lelaki seperti Raditya yang sangat mengerti dirimu melebihi Romo. Aku yakin kalian akan bahagia, meski harus tertembak peluru selama perjuangan yang kalian inginkan."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Gadis Keraton
Historical Fiction#80 HR in Historical Fiction (18/05/2018) Ajeng, gadis belia berumur 17 tahun yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada kesusahan berarti dalam hidupnya, kecuali siksaan diri dari keinginannya bergabung dalam organisasi memperjuangkan kemerdekaan bang...