Saat Dewi menyebut nama Didit, aku pikir ia terpeleset untuk menyebut ejaan Bibit. Ternyata aku salah telah menyalahkan hal yang benar, hanya sebab ketidaktahuanku.
"Aku membawakan untukmu seorang abdi dalem yang akan membantumu." jelasnya sambil mengusap pipiku.
"Maksud-" ucapku disela oleh penjelasan lanjutnya.
"Percaya sama aku, Jeng. Dia kunci kamu untuk keluar dari hukuman ini. Terbang bebas mewujudkan tujuan mulia ini," tatapnya mantap sambil menganggukkan kepalanya.
"Aku tidak tau bagaimana caranya, Wi. Lagipula, bagaimana mungkin orang asing bisa dipercaya Romo begitu saja." jelasku terhadap keraguan itu. Sebenarnya aku sempat berpikir itu ide, tapi abdi dalem? Dewi pasti bercanda. Bahkan Satrio yang benar-benar ningrat, menempuh pendidikan di negeri Londo tidak bisa sama sekali memuluskan jalanku. Hanya saja, aku berharap orang itu benar-benar mampu seperti yang dikatakan Dewi.
"Itu beres. Kamu tenang saja! Ibu dua anak ini tak pernah kalah dalam urusan membujuk." jelasnya mantap.
Aku tersenyum simpul. Ya, sahabat dan sepupu ini pasti bisa. Contohnya, meskipun ia sudah menikah dan memiliki anak, selalu ada kesempatan untul bagi. Dia panutanku dalam membagi waktu sebagai putri bangsawan, ibu, dan wanita.
Ketika ku tatap laki-laki itu di depanku, keraguanku memudar. Wajahnya tegas meski dalam keadaan menunduk saat ini. Ya, tipe wajah yang akan menyakinkan siapa saja yang melihatnya. Tipe wajah yang tak akan mendapatkan tolakan dari Romo. Aku menyimpan pertanyaan kemudian untuk ditanyakan kepada Dewi ketika laki-laki itu sudah pergi, 'bagaimana ceritanya lelaki ini dengan mudah menjadi abdi dalem?'
"Didit!" panggil Dewi saat langkah kami mendekat kepadanya.
Ia menoleh, lalu dengan cepat menunduk. "Dalem, Ndoro." sahutnya sangat santun.
Ku pikir bukan wajah asli, tapi semua terbantah saat ia mengucapkan salam dengan bahasa Jawa yang kental. Lumayan tampan, pikirku. Ah, aku pasti merasa sedikit terpojok dengan fakta teman bermainku sudah menikah semua. Hanya lumayan, abdi dalem tak bisa jadi apapun dalam hidupku.
"Bagaimana, Jeng? Aku yakin sekali dia mampu membantumu tentang apapun." pertanyaannya jelas bukan untuk dijawab.
"Aku harap begitu, Wi. Terima kasih ya!" pelukku erat. Dewi sudah ingin pulang. Tak urung meski aku meminta tinggal.
Saat ku liat keretanya pergi menghilang dari pandangan, ku menyadari kesalahan fatal. Aku lupa menanyakan siapa sebenarnya Didit.
Bersambung
Ternyata merintis di dunia oranye ini tak semudah diceritakan. Well, tapi senangnya saat punya pembaca juga senang banget. Terima kasih yang sudah vote.
Ditunggu komentarnya.
Stay tune!
Please Follow!
Vote!
Comment!See you👋
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Gadis Keraton
Historical Fiction#80 HR in Historical Fiction (18/05/2018) Ajeng, gadis belia berumur 17 tahun yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada kesusahan berarti dalam hidupnya, kecuali siksaan diri dari keinginannya bergabung dalam organisasi memperjuangkan kemerdekaan bang...