Pelarian (1)

149 21 0
                                    

Saat aku liat punggung seseorang dengan secangkir kopi di tangannya, aku merasakan de javu. Kejadian itu, saat aku sangat marah akan aksi lancang. Aku berencana larut dalam masa lalu itu. Ketika sedang menyelam, saat itulah ku sadari kehadiran Didit sama seperti sebelumnya, tapi kali ini membawakan secangkir teh hangat dan gethuk. Wah, andai saja aku tak memasang wajah perang, tentu aku akan bertanya darimana ia mendapatkan makanan ibu pertiwi ini.

"Terima kasih." ucapku singkat, mengantikan hal yang ingin ku katakan tadi.

Ia tak menjawab. Aku sebal akan tindaknya itu. Tapi ketika ia kembali dengan nasi pecel, aku tak bisa mengutamakan marah dibandingkan bau enak yang selama 3 bulan terakhir selalu ku rindukan. Didit juara! Terima kasih kepada Dewi.

"Silahkan dimakan, Ndoro!" bisiknya pelan, sedikit menunduk. Ya, benar. Kami harus menjaga interaksi agar tak terlihat seperti ningrat dan non-ningrat.

Aku tak memperdulikan hal itu. Nyatanya, aku tak bisa kenyang dengam begitu. Aku sangat menikmati makanan ini, sangat enak. Tak perlu penjelasan darimana asalnya ia mendapatkannya.

Akan tetapi, saat aku mengangkat kepalaku. Aku termenung. Ia berbicara dengan lelaki yang sama di Rumah Sakit tempo lalu ketika aku terbaring lemah, hanya bedanya ia bersama dengan lelaki yang mengabarkan berita gawat darurat yang mengakibat kami mengungsi dan tertahan bagaikan pelarian penjara.

Kenapa? Apa semua ini saling terhubung? Siapa Didit sebenarnya? Ah, dia hanya abdi dalem pilihan Dewi. Tapi, apakah ini makna yang dimaksud Dewi. Aku mengutuku diri sendiri mengapa tak pernah menaruh curiga terhadap latar belakang Didit.

Aku tau tak baik meninggalkan makanan dan menaruh curiga tiba-tiba. Olehnya, aku memanjangkan telinga dalam diam dan tundukku terhadap makanan kesukaan ini. Sejenak rasa senang makanan ini berkurang, terganti oleh rasa penasaran rahasia Didit dan orang di sekitarnya.

"Kamu harus kembali ke kantor organisasi secepatnya." Ujar lelaki itu, Didit hanya mengangguk.

"Aku akan menjaga nona Anda!" tatapan mereka beralih kepadaku, kecuali Didit yang ku yakin pasti ikut mengekorkan matanya tapi berusaha tak terlihat. Untungnya, aku tak bersiaga seandainya hal ini terjadi. Aku berusaha menikmati makanan ini dengan lahap. Sayangnya, mereka tak berhenti menatapku seolah menahanku melalui tatapan itu. Aku segera bergegas untuk membuang sampah, mencuci tangan ataupun memesan kopi di kedai ini. Melarikan atau hanya menuruti perintah menjauh dan larangan menguping tersebut.

***
Bersambung
.
.
.
.
Enjoy!

(Bukan) Gadis KeratonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang