Ketika kusadari beberapa menit keadaan mulai menenangkan. Pintu yang berbunyi untuk mempersilakan tamu tak diundang itu keluar dari apartemen ini. Aku mampu bernapas, meraup udara secepatnya sebab perasaan lega yang ku rasakan. Tapi pelan kemudian, ku rasakan aroma seseorang, menenangkan seperti aura Romo. Aneh, tak pernah ku temui abdi dalemku begitu, menguarkan aroma bagaikan bangsawan.
Astaga, aku kan masih belum tau siapa Didit. Tentu saja aku mengadu panjang pada Dewi atas perlakuan (mantan)-abdi dalem ini. Tapi kan suratnya diantar Lastri. Ah, kenapa aku tak menaruh curiga ketika balasan Dewi tak kunjung datang. Selama melewati persembunyian dadakan, tentu saja Lastri menitipkan suratku untuk diantar. Didit pasti tidak mengirimkan sebab alasan administrasi.
Aku tak tahu kenapa keadaan semakin genting, tapi aku tahu satu hal penting, Didit masih bergabung dalam organisasi itu. Jadi, pengacau gawat itu bukan dari orang organisasi. Kenapa aku tidak kembali juga kesana?
Aku berhenti berpikir saat Didit pelan mendorong badanku ke depan, melonggarkan pelukan belakang yang secara otomatis tercipta. Ya ampun, apa? Jadi selama satu jam ini, persembunyian ini secara tak langsung membuat abdi dalem kurang ajar ini memelukku?
Aku menajamkan tatapanku padanya. Kesal. Harga diriku jatuh, meski keadaan darurat seharusnya itu tak pernah terjadi. Didit hanya melengos melewatiku begitu saja, mengambil air putih lalu meminumnya. Apa ia tak tahu kemarahanku? Sangat menyebalkan. Dewi, ku bersumpah menyesal memungut abdi dalem yang kau berikan ini!
"Minumlah, Ndoro!" Badannya sedikit membungkuk, memberi hormat. Jadi, kau telah kembali mengingat tata krama, orang aneh? Aku tersenyum sinis.
Aku menandaskan teh hangat itu, sungguh melegakan tenggorokan dan menghangatkan perutku yang kosong. Ketika ku menyodorkan gelas kosong itu kepadanya, kesempatan mengunci ini takkan pernah dilepaskan. "Jelaskan padaku situasi kita!" perintahku dengan tatapan tajam menuju matanya.
Ia tampak ragu, tapi tak menemukan alasan menolak. Maka ketika mulutnya terbuka ingin membantah, cepat kusampaikan, "atau aku akan menyelidikinya sendiri!" Aku membuang muka kemudian, sedikit mengekor dirinya yang tampak pasrah.
"Berikan saya waktu, Ndoro. Mohon ampun, saya hanya binggung harus memulai cerita darimana." ia masih menunduk, menghormati diriku.
"Aku menerima segala cara kau menyampaikan, tapi jelaskan sekarang!" kali ini ku langkahkan kakiku menuju pintu untuk menutupnya. Udara dingin dari luar menusuk kulitku, meski telah memakai berlapis pakaian dan penghangat ruangan tak banyak menganggu.
Aku melangkah kaki ke sofa, sesekali mataku mengekor mengamati Didit dengan keraguaannya. Aku kaget ketika menyadari laki-laki itu berlutut, memohon. Apa? Kenapa ia menjadi berubah begini? Seketika hatiku melunak, tapi langsung saja aku tetap memasang wajah keras. Keingintahuanku harus terbayar hari ini.
"Mohon ampun, Ndoro. Saya akan menceritakannya, tapi bantu saya menyelesaikan ini!" tangannya menyerahkan tumpukan kertas. Eh? Sejak kapan ia memegang kertas.
"Eheem!" Diriku memdeham dengan segaja, memberi aba-aba keputusanku. "Tak masalah, tapi jangan ingkari janji!"
Bersambung...
Halo halo ha!
Terima kasih sudah baca! Ada yang baca AN ga ya? Hehe. Gini loh, boleh ga minta komen atas cerita ini?
Ga boleh ya? 😢
Ya udah deh, nikmati aja ceritanya hahaSelamat bersenang-senang!
Cek
It
Dot👋👋👋
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Gadis Keraton
Historische Romane#80 HR in Historical Fiction (18/05/2018) Ajeng, gadis belia berumur 17 tahun yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada kesusahan berarti dalam hidupnya, kecuali siksaan diri dari keinginannya bergabung dalam organisasi memperjuangkan kemerdekaan bang...