Ketika musim gugur, keindahan bunga Tulip tak bisa dilewatkan di negeri Londo. Meski diriku selalu menangis, tak mampu menyalahkan keputusan agar tetap disini. Setelah beberapa bulan pengintaian itu, Didit dan Lastri selalu disampingku. Aneh, mereka menggantikan sebagian posisi keluargaku, bukan sekedar abdi dalem. Sebulan kami berkurung diri, tapi hanya Didit yang sesekali keluar membeli melengkapi persediaan makanan.
Seperti saat pagi ini, diriku hanya menatap pada jendela yang menyuguhkan pemandangan di jalanan kota. Untungnya, gedung ini berada di lantai 3 sehingga tak ada siapapun yang memergoki diriku menatap tajam pada lalu lalang penduduk di jalanan. Didit pergi, aku membaca buku. Tentu saja diriku terlalu gengsi untuk meminta penjelasan kepadanya lagi setelah kejadian itu. Ya ampun, aku ingin mengganti wajah jika mengingatnya.
***
"jadi kau teman Didit?" tatapku curiga."Tentu saja. Kau meragukannya?" tanyanya balik.
Aku hanya diam bergeming, tapi tak lepas menghujamkan pandangan tajam curiga.
"Ada apa?" tanyanya kemudian. Lalu seakan ada sesuatu yang tiba-tiba muncul di kepalanya, ia sangat antusias bercerita pertemanan mereka. Hal yang bisa ku tangkap, mereka mengenal cukup lama, bahkan sebelum pergi ke negeri ini.
"Kamu dari mana?" tanyaku lagi.
"Dari tadi." jawabnya santai, lalu mengendikkan bahunya, tidak tahu.
"Percuma." gumamku kecil, memelankan suara.
"Aku akan pulang." kakiku bergegas meninggalkannya, meski ku dengar suaranya memanggilku.
"...sampaikan salamku pada Didit!"
"masa bodoh!" balasku, tapi sudah pasti tidak didengarnya.
Saat pintu terbuka, bukan Lastri yang menyambutku. Tapi Didit yang sudah rapi ingin keluar.
"Kemana?" tanyaku tanpa menolehnya, bergegas menerobos ke dalam.
"Mengurus urusanmu!" jawabnya singkat, lalu berlari keluar tergesa-gesa.
"Astaga! Ampuni Ajeng Romo, ini pasti hukumanmu." berusaha keras meredam emosi.
Cara terbaik memperbaiki mood, makan kue lezat negara Londo. Cukup menggantikan kerinduan akan singkong, putu dan makanan lainnya. Selanjutnya, aku tertidur pulas ketika membaca buku kuliahku. Ah iya, qky tetap belajar di sela-sela persembunyian tanpa sebab ini. Sampai sekarang pun, aku binggung alasan kami dikejar dan diintai, padahal belum melakukan apapun.
Ketika aku bangun karena terkejut, jam dinding menunjukkan jam 12 malam. Ah, tengah malam. Benar saja dugaanku, suara tadi bukan suara kedatangan seseorang, hanya kucing yang melompat-lompat mencari sisa tulang di bak sampah atau menangkap tikus yang mengendap-endap.
"Jadi, anak itu belum pulang?" Diriku malas peduli pada sosok sombong itu tak tau tata krama itu. Tapi, ketika merasa hembusan angin yang berhasil masuk melalui celah-celah kecil di atas jendela, kecemasanku menyerbu. Tentu saja mereka yang di luar akan mati membeku.
Aku gelisah. Ketika kegelisahan mulai memenuhi diriku, saat itu ku rasakan pintu terbuka. Tapi, diriku dengan cekatan tertarik pada sesosok badan dari arah belakang.b
"Braakk!" pintu terbuka kasar. Kaki orang itu menghentak di lantai, jelas sekali aura kemarahanya.
"Didit!" bisikku pelan, secara otomatis sebab ketakutan.
Ku rasakan anggukan kepala sosok yang mendekap diriku dan tangannya menutup mulutku.
"Tenanglah!"
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Gadis Keraton
Historical Fiction#80 HR in Historical Fiction (18/05/2018) Ajeng, gadis belia berumur 17 tahun yang hidup di jaman penjajahan. Tak ada kesusahan berarti dalam hidupnya, kecuali siksaan diri dari keinginannya bergabung dalam organisasi memperjuangkan kemerdekaan bang...