26. Kamu Aku Dia

10.1K 915 43
                                    

"Makasih ya Din, kamu mau bantuin aku" basa basiku pada Zay yang baru saja kutemani belanja kebutuhan kafe.

Hari ini Melisa mengizinkanku pulang. Tiga hari dirawat membuatku begitu ingin segera sampai dirumah.

"Gapapa sih tapi bingung aja, kenapa kamu ga minta jemput Putra atau Dulfi?"

"Kamu ga ikhlas nolongin aku?"

"Bukan gitu Ri, seenggaknya kabarin Putra atau keluarga kamu"

"Aku sudah bilang Mama Din"

"Trus kenapa hapeku harus dimatiin?"

"Biar ga ditelponin Putra atau Dulfi. Aku bilang Mama pergi sama kamu, pasti mereka bakalan nelponin kamu"

"Waahhh jadi tersangka aku"

"Aku lagi pengen makan ditempat biasa Din... anterin yaa... aku ga mau mereka tau, pasti ga boleh"

"Oke oke.. tapi aku penasaran deh Ri, Sebenarnya kamu pilih Dulfi atau Putra sih Ri?"

"Ga usah bahas mereka ya Din" pintaku.

Zay tidak menjawab. Hanya fokus pada jalanan. Mobil pick up yang dikendarai Zay melaju dengan tenang. Setenang jalanan pagi ini yang lenggang.

Mobil putih kesayangan Dulfi sudah nangkring cantik diteras rumahku. Kemungkinan Dulfi tau aku sudah pulang dari rumah sakit dan mengira aku sudah sampai dirumah. Beruntung tadi Zay mengajakku berbelanja kebutuhan kafe sebelum mengantarkanku ke sebuah warung tak jauh dari tempat tinggalku.

Warung ini masih sama. Dengan wajah ramah yang menua setiap kali aku berkunjung.

"Mba Ori, tambah ayu loh mba, pesen seperti biasa kan mba? Loh datangnya sama mas Jai toh" sapa Pak Jiman, pemilik warung soto dengan gaya khasnya. Senyum sumringahku langsung mengembang mendengar Pak Jiman memanggil Zay dengan Jai. Je a ja i. Jai.

Kami memilih duduk dengan Pak Jiman, biar enak ngobrolnya. Walaupun banyak kursi dan meja di ruangan enam kali enam meter ini. Warung ini semakin besar sejak aku terakhir kesini

"Pak, nama saya pake Z pak bukan J" Zay membenarkan namanya. Hancur namanya bila berada di antara Ori dan Pak Jiman.

"Enakan manggil Jai mas" Pak Jiman memberikan semangkuk soto kepada Zay.

Aku terkikik. Lalu mulai meracik semangkuk soto yang diberikan Pak Jiman dengan perasan jeruk nipis dan sambal tanpa kecap karena aku tidak suka kecap.

"Puas banget ketawanya Ri, eeeehhh sambel jangan banyak-banyak dong" Zay mengambil alih sendok sambel yang kupegang.

"Mba Ori ga doyan pedes lagi sekarang ya mas?" Pak Jiman bergabung bersama kami, duduk tepat disebelahku.

"Bukan Pak, Ori barusan keluar rumah sakit, baru sejam yang lalu Pak, langsung kesini"

"Laaah, ga boleh kena jeruk nipis banyak-banyak, kalo gitu tak tuker sing anyar" Pak Jiman langsung mengambil mangkuk sotoku dan segera meracik yang baru. Aku bengong sambil menatap kepergian Pak Jiman seraya berkata "Sotokuuu...."

**

Soto memang moodbooster paling tepat dikala perasaan gundah gulana melanda. Dan soto Pak Jiman paling endes surendes makgendes mendes sugendes. Pokoknya enaaaaaaak banget.

Aku memasuki rumah dengan perasaan gembira meskipun Dulfi dan Putra sedang berada diruang tamu bersama Mama. Zay yang membawakan tasku mendapatkan tatapan tajam dari Putra.

"Darimana kak?" Tanya Mama setelah menjawab salamku.

"Makan Ma, masakan rumah sakit gaenak, jadi Udin traktir Ori dulu, iya kan Din"

Zay mengangguk. Pasrah. Daripada digebuk masa, mending iya aja deh.

"Ini teman-teman kamu pada besuk, kamu temenin dulu ya"

Aku yang nyaris berlari menuju kamar, langsung mengurungkan niat dan segera duduk disofa diantara Dulfi dan Putra. Zay kaget. Begitupun Putra dan Dulfi. Aku sudah bertekad, tidak akan cengeng lagi. Semua harus dibicarakan secara baik baik dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Mama tersenyum dan berkata "Mama pergi dulu ya Ri, ada arisan Paguyuban, Zay.. Tante nebeng kamu yaa..."

Zay mengangguk pasrah, kelakuan anak sama emaknya sama. Lima menit kemudian, Zay dan Mama sudah pergi meninggalkan kecanggungan antara Putra, Aku dan Dulfi. Masih dengan posisi yang sama.

"Put, bikinin lemon squash dong, pengen nih" ucapku memecah keheningan. Putra jago sekali bikin lemon squash.

"Ga bisa sayang, kesehatan kamu belum stabil, aku ga mau kamu masuk rumah sakit lagi"

"Ga seru iih"

"Kamu ini tetap keras kepala ya?" Putra tersenyum padaku.

"Kalo ga keras kepala, mana mungkin nangisin kamu selama setahun, udah ah aku bikin sendiri aja" Aku menuju dapur yang diikuti oleh Putra.

"Ya sudah, aku bikinin tunggu didepan sama Dulfi, bahannya punya kan?"

Aku menggeleng. Seminggu di rumah sakit tentu membuatku tidak mengetahui isi kulkas dirumah ini.

"Aku periksa sendiri aja deh, kamu istirahat aja yang" Putra mendorongku keluar dapur.

Dengan kasar kuhempas bokongku disofa, berhadapan dengan Dulfi.

"Kamu kenapa ga bilang kalau udah pulang Ri?"

"Ga mau ngerepotin"

"Oh.. kenapa Lemon squash?"

"Buatan Putra enak banget, kamu harus coba, aku ga bohong"

"Tapi kamu kan baru sembuh"

"Aku depresi bukan kena magh" Kututup mulutku dengan cepat. Aaaaaahhh sial, keceplosan. Dulfi memicingkan matanya.

"Depresi karena?"

"...."

"Karena aku ya Ri?" Dulfi menatapku lekat.

"Sembarangan, mana mungkin karena kamu"

"Lantas kenapa?"

"Aku ga mau jawab"

"Kasih tau dong.."

Aku menggeleng. Dulfi mendekatiku dan mulai menggelitikiku, geli. Sumpah demi apapun juga aku ga bakalan bilang apapun ke dia.

"Ayook jawab"

"Enggaaaaaaaaaaakkk hahahhahahahahha udah dooong tanganku sakit" aku masih tertawa sambil menyeka air mataku.

Dulfi melepaskan tangannya dipinggangku, lalu perlahan memperhatikan kegiatanku menghapus air mata yang jatuh. Kebanyakan siih.

"Dia depresi karena lihat darahnya keluar. Dia phobia darah Fi" Putra keluar dapur membawa tiga gelas minuman yang kupesan, menyerahkan segelas lemon squash pada Dulfi, kemudian memberikan segelas padaku. Gelas paling kecil diantara ketiga gelas itu.

"Kok kecil banget punyaku?" Protesku.

"Itu spesial sodanya ga banyak, nanti kalau kamu sudah sehat betul, aku buatin sebanyak yang kamu minta" suara Putra yang lembut dan sikapnya yang bijaksana begitu menyejukkan hati. Itulah alasan kenapa aku jatuh cinta padanya.

"Janji yaa" kataku begitu menyelesaikan tegukan terakhir lemon squashku.

Putra mengangguk sambil membelai lembut kepalaku. Aku menyandarkan kepalaku dibahunya yang tenang. Bukankah wanita butuh sandaran hidup?

**

Lemon, lemon apa yang bikin senang?

Lemon kita ke KUA

(Gombal Mukiyo)

Publish dulu aja ya, editnya entaran.
Happy reading all..

Dari aku yang banyak kondangan hari ini
Author

ORITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang