Aku duduk dengan lemas. Bukan karena aku tak bahagia akan menikah dengan Dulfi. Hal ini benar-benar diluar kuasaku. Aku bingung menghadapi kedua bukan dua tapi ketiga perempuan yang masih menatapku ini. Dulfipun tak kalah lemasnya.
"kenapa buru-buru sih Bun?" tanya Dulfi dengan memelas. Seperti tau pertanyaan apa yang ada difikiranku.
"Ga buru-buru sayang, itu demi kebaikan kalian, Bunda ga mau kalian terlalu pacaran dan akhirnya melakukan hal yang kalian inginkan," kata Bunda.
"yang enggak diinginkan kali Bun," sahut Tania.
"kalau ga diinginkan, namanya diperkosa, kalau pacaran dan making love duluan namanya diinginkan," jelas Bunda panjang lebar. Iya juga ya.
"Tapi Bun, ngurus suratnya kan lama," bantah Dulfi lagi.
"Kamu kan biasa ngurusin orang kawin, masa ga bisa cepet? Ga hebat kamu," jawab Bunda.
"Mereka kan jauh-jauh hari Bun, bedalah," Dulfi mencoba menetralisir amarahnya.
"Koneksi kamu kan banyak, pasti mau bantu," jawab Om Zul.
"tapi kenapa nentuin tanggalnya pake kalender haid aku Bun?" Akhirnya pertanyaan yang sempat berputar-putar dikepalaku terucap juga.
"Biar dapat hari yang baik," jawab Bunda cepat.
"Kok? Bukannya pake weton dan segala macam ya Bun?" aku makin bingung dengan pemikiran ajaib Bunda Mertuaku. Uhuuukkkk.
"Hari yang paling baik untuk sebuah pernikahan setelah pengantin wanita selesai haid, biar cepat jadi anaknya," jawab Mama Yuli dengan santai.
"Uhuuuukkk uhuuuuuk uhuuuuuuk," Dulfi tersedak mendengar pernyataan Mama Yuli. Air yang ia minum keluar melalui hidung. Dua kali ia tersedak gara-gara kelakuan keluarganya yang makin sulit dipahami.
Aku otomatis menepuk-nepuk punggung Dulfi dan mengambil tisue untuknya. Papa tersenyum melihat tingkah kami.
"Buuun.. boleh ga Dulfi ngomong berdua Ori dulu?" Dulfi berdiri menarik tanganku dan bersiap meninggalkan ruangan itu.
"Mau kemana?" tanya Bunda.
"cari angin Bun."
"Pake kipas angin aja," jawab Eyang cepat.
Tania dan Fanya terdengar cekikikan. Eyang emang cocok dijadikan anggota ini talk show. Dulfi makin kesal.
"Bukan angin yang itu Eyang," jawabnya.
"jadi angin yang bagaimana?" Eyang kembali bertanya.
Dulfi makin kesal. Rahangnya mengeras pertanda ia sudah benar-benar emosi. Aku mengerti apa yang ia rasakan karena akupun merasakannya.
"Boleh pergi sebentar ya Yang, Ori janji, setelah ngobrol berdua dengan Dulfi, Ori balik lagi kesini," Pamitku ketika berada tepat di sebelah Eyang. Aku memamerkan senyum terbaikku. Eyang tersenyum pertanda memberikan ijin. Lalu aku mencium tangan Eyang dan berlari mengejar Dulfi yang sudah terlebih dulu pergi.
*********
"Ini gila," teriak Dulfi ketika kami tiba disebuah taman dekat rumah Eyang. Aku duduk memandang langit yang sudah berubah senja. Aku tau ini terlalu cepat. Hembusan angin yang berubah arah membuat wajahku sedikit segar.
"Beb, maafin keluarga aku ya," Dulfi berkata lembut sambil memeluk tubuhku. Aku hanya diam.
"Kalau kamu ga mau, aku bisa batalin pernikahan ini," katanya lagi. Membuat hatiku teriris pedih.
"Kamu ga mau nikah sama aku?" nada suaraku terdengar kesal. Bodo amat dah!
"Bukan gitu Sweetheart, aku ga mau kamu menjalani ini dengan terpaksa. Aku mau kamu benar-benar siap untuk jadi istriku, bukan karena dipaksa seperti ini" jawab Dulfi.
"Kita bukan dijodohin."
"Iya sayang, tapi tetep aja, keluarga aku yang maksa."
"Kamu ga sayang aku?" tanyaku menahan airmata.
"Sayang banget Kyori, sayang... tapi aku ga mau melamar kamu dengan cara seperti tadi. Aku mau melamar kamu dengan caraku sendiri."
"Kapan?"
Aku kaget mendengar pertanyaan yang keluar tanpa kontrol dari mulutku sendiri. Dulfi sama terkejutnya denganku. Ia menundukkan wajahnya. Tak pernah menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti ini. Hari ini ia benar-benar merasa frustasi.
Dulfi diam dalam lamunannya. Menetralisir aliran darahnya yang terpompa dengan sangat cepat karena detak jantungnya bergerak cepat. Ia tidak yakin bisa dengan mudah meminta gadis dihadapannya untuk mau menjadi istrinya.
tiga puluh menit berlalu dan kami masih dalam diam. Aku bersiap pergi meninggalkan Dulfi sendiri namun ia memegang tanganku. Melarangku pergi dan memelukku dari belakang.
"Maaf Ri, mungkin sekarang waktunya ga tepat, tapi aku pernah gagal menikah Ri, aku trauma akan pernikahan," bisik Dulfi ditelingaku.
Aku sudah menduganya. Bukan aku yang belum siap, tapi dia.
"Rasanya aku pengen melajang seumur hidupku. Aku sudah ga percaya sama cewek-cewek disana sebelum aku ketemu kamu."
"Kamu yang merubah hidupku, kamu yang bikin aku percaya lagi, kamu yang bikin aku senyam senyum ga jelas, cuma kamu yang bisa bikin aku duduk bengong lima jam tanpa ngomong padahal kita kenal aja belum, kamu yang buatku yakin Ri, kamu, kamu yang buatku begini," lanjutnya lagi dengan suara yang lembut. Hatiku menghangat padahal udara hari ini mulai dingin.
"Ini, aku beli setelah lima jam kita yang terbuang sia-sia di pinggir pantai," Dulfi mengeluarkan sebuah kotak. Aku membalikkan tubuhku. Kali ini kami berhadapan. Aku tak percaya.
"Setelah itu, benda ini selalu ada bersamaku. Tiap malam aku membayangkan kamu memakainya, kamu yang berada di sisiku."
Aku menutup mulutku terbelalak. Dulfi berlutut sambil membukakan kotak yang ia pegang. Sebuah cincin bermata biru terlihat sangat cantik.
"Kyori Olivia Bermana, mungkin aku ga bisa beliin kamu Alpard, ga bisa beliin kamu Hermes mentok cuma bisa beliin Abekani, saat ini aku ga bisa ngajak honeymoon ke Maladewa tapi kalau bobok di hotel Jatra masih bisa. Tapi aku harap kamu mau jadi partner in crime aku. Jadi partner sehidup semati. Jadi partner buat anak-anakku kelak. Will you merry me?"
Sebuah airmata lolos dari mataku. Sedih ga bakalan dapat Hermes apalagi dibeliin Alpard. Tapi aku bahagia, karena Dulfi melamarku dengan disaksikan Matahari yang belum beranjak dari langit. Menyerukan warna jingga di senja yang merona. Angin berhembus menerpa wajahku yang basah. Kicau burung seakan bernyanyi seirama dengan deru nafas yang memburu.
"Iya beb ... I will ...," kataku. Airmataku sudah tak terbendung. Dulfi memakaikan cincin itu pada jariku. Dan kegedean.
"Yah, kegedean, nanti kita beli yang baru ya?" jawab Dulfi lalu memelukku.
"Gapapa sayang... i love you," kataku.
"I love you more darling."
Kami berpelukan lagi. Lalu memutuskan untuk sholat maghrib di mesjid dekat taman karena panggilan sholat sudah diserukan.
**********
Buah manggis ada dikamar
Adek menangis karna dilamar(Bukan pantun)
Pubish juga akhirnya
Maafkeun tanpa edit
Dann Ori #78 dichicklit per tanggal 1 november 2017
Yeyeyyeyeyeyeyeyeyeye
Terima kasih yang mau vote dan koment
Ga nyangka walaupun pernah ada di #16 chicklit
Itupun sekali doang
Hahahahhahahahahaha
Pokoknya terima kasih deh
Btw yang belum follow aku, follow dong biar bisa baca keseruan Ori yang deg-degan mau merid 😍😍
Ditunggu yaa...Salam sayang dari aku yang lagi bahagia
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
ORI
Chick-LitCOMPLETE Perjuangan Ori lepas dari bayang masa lalunya yang telah di bangun dengan susah payah harus hancur lebur menjadi butiran debu setelah sang mantan menyapanya via inbox sosial medianya. Damn it!!! gara-gara "hai" semenit rusak move on set...