8. Dia Lagi Lagi

16K 1.5K 43
                                    

Malam ini aku harus menerima kenyataan bahwa pria disampingku ini ternyata licik sekali. Aku menatapnya heran. Dari sekian banyak wanita yang dimuka bumi ini, kenapa harus aku? Sepanjang perjalanan kami hanya mampu mendengarkan suara jazon miraz yang mengalun merdu. Sesekali matanya melirikku yang ku balas dengan tatapan sewot. Dulfi mengembangkan senyumnya yang sialnya lagi-lagi membuatku terpesona.

Ini laki ngeselin banget, sumpah. Itu muka tolong dikondisikan dong, lama-lama bisa hancur hati ade bang. Kalian tau ga, sejak insiden di mall kemarin, dia terus mengerjaiku dengan embel-embel temenan. Dari memaksa mengantarkanku pulang, meminta nomor handphone dan sekarang memintaku untuk menemaninya ke acara lamaran sepupunya. Ya kali status cuma temenan kurang dari tujuh puluh dua jam sudah seenak udelnya maksa aku ikut. Aku mendengus kesal. Memikirkan akan bertemu keluarga Dulfi, membuatku mual. Demi apapun juga, Aku belum siap untuk sebuah hubungan.

Kami memasuki sebuah kafe yang terlihat klasik. Aku langsung teringat Fanya yang pasti akan dengan gegap gempita memandang setiap ornamen dikafe ini. Fanya memang menyukai segala sesuatu yang berbentuk vintage. Dan si Anjas, salah satu barang vintage menurutku.

"Kalau mau terpesona entar aja, bantuin aku dulu ya" bisiknya ditelingaku. Suaranya dibikin mendesah. Aku menoleh dan menatapnya, jijik. Tangannya menggenggam tanganku lembut dan menarikku mengikutinya. Beberapa orang tersenyum dan menyapanya. Dulfi bersikap sopan dengan membalas sapaan mereka dan sepertinya tak berniat melepaskan genggamannya.

Kami memilih duduk di sofa yang mengarah ke luar lalu memesan minuman yang tak lama kemudian datang. Memandang kota saat malam merupakan hal yang luar biasa indah. Seandainya Putra yang disini, bukan Dulfi yang sampai saat ini ga berniat melepaskan genggaman tangannya. Sudah berkali-kali ku coba lepaskan genggamannya, tapi hasilnya nihil.

"Ri... kamu liat ga bunga disana?" Dulfi mengarahkan pandanganku ke arah bunga mawar merah yang tertata cantik disebuah meja "cantik ya, kayak kamu" lanjutnya.

Heh, gombal.

"Kok kamu diam sih Ri? Cewek itu kalau digombalin biasanya blushing loooh, kamu kok enggak?"

"harusnya?"

"Kelainan kayaknya nih"

Aku terkekeh "kebanyakan digombalin, jadi kenyang sampe eneg"

Dulfi kembali tersenyum "ga nyangka aku, bakalan bisa deket sama kamu kayak gini"

"Harap di klarifikasi ya Pak, situ yang maksa saya"

"Hahahaha iya, aku yang paksa, habisnya aku jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu"

"Hah?"

"Liat kamu bawaannya pengen meluk"

"Dasar mesum"

Tawa Dulfi kembali terdengar. Baru saja aku hendak mengajukan berbagai pertanyaan, tapi handphonenya udah berdering. Dulfi mengangkat telponnya dan pergi menjauh. Fiuuuuhhh lega banget. Akhirnya genggamannya lepas pemirsa.

Ku edarkan pandangan ke seluruh cafe sampai aku melihat seseorang yang ku kenali. Fanya?

Ah iya, aku lupa menanyakan kabarnya sejak insiden kemarin. Bagaimana hubungannya dengan Anjas. Kemarin aku tak melihatnya dikantor, karena aku sedang dinas ke luar.

Aku berdiri hendak beranjak dari sofa, ingin menghampiri gadis malang yang sedang terluka.

"Mau kemana?" Dulfi yang baru saja selesai dengan telponnya.

"Itu.. mau say haii sama temen dulu"

"Biarin Fanya sendiri dulu Ri" Dulfi merebahkan dirinya disofa. Aku terpaku. Terpana. Terkejut. Kok kenal?

"Aku sepupu Anjas" lanjutnya seakan tau apa yang ada dikepalaku.

Surprise.

"Kita pernah papasan waktu ditangga kantor kamu, kamu ga inget?"

Aku menggeleng. Ingatanku payah.

"Bukannya kita pertama ketemu di nikahan Isna?"

"Bukan, pertama kali waktu ditangga kantor kamu. Matamu udah kayak panda waktu itu, kamu lusuh banget"

"Oh ya? Masa sih?"

"Yee.. dibilangin ga percaya, dan aku kaget banget waktu ternyata kamu kenal sama Isna juga"

"Sebentar.. berarti yang aku temui malam jum'at kapan hari itu kamu? Bukan penampakan? Ngapain tengah malam dikantorku?"

"ya kali setan setamvan guwe??" Senyum kembali menghiasi wajahnya "Numpang ke kamar mandi, nungguin noh, si Anjas yang jemput Fanya. Tempo hari pas mau audit apa namanya?"

"Chesm.. tapi kok aku ga lihat ada Fanya sama Anjas waktu itu?"

"Udah ke mobil duluan mereka"

Aku menatapnya lekat.

"Liatnya biasa aja keuless, ntar naksir"

"Kamu siapanya Isna?"

"Harus ya dijawab?"

"Enggak" aku mengalihkan padanganku ke pemandangan kota yang berkali-kali ku lihat tetap terasa cintanya.

"Aku sama Isna ga ada apa-apa. Suaminya sahabatku waktu kuliah, dulu kemana-mana bareng" Dulfi menyesap minumnya.

Aku memegang jantungku. Memeriksa detaknya. Tak ada perubahan irama.

"Kemarin di mall ngapain?"

"Nganterin noh si Anjas, katanya ga bisa kehilangan Fanya. Ngacak-ngacak kamarku, daripada diusir sama Emak, mending ajak dia karaoke, eeeh ternyata pas sampe di mall, aku lihat kamu sama Fanya"

"Kebetulan banget ya?"

"Mungkin kita jodoh"

"Kita? Kamu aja kali, aku mah enggak"

"Hancur hati abang dek"

Kami tertawa. Lepas. Seandainya bersamamu Put, pasti hatiku berbunga-bunga.

Dulfi mengeluarkan kotak merah kecil. Menatapku dengan sepenuh hatinya dan membukanya dengan perlahan. Sebuah cincin dengan satu mata berkilau ditempa cahaya. Aku menatapnya seakan tak percaya. Samar ku dengar Dulfi berkata "Cantik ya..."

**

Terjawab sudah ya siapa cowok ditangga yang ditemui Ori dan apa hubungan Dufi dengan Isna.

Saya kira kisah Fanya dan Anjas bisa selesai dalam dua Chapter ternyata saya salah...

Next Chapter masih tentang Fanya dan Anjas

Terima kasih yang sudah baca

Luph Luph

Author

ORITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang