33. Usaha aja dulu

10.3K 904 27
                                    

seperti yang di hatiku

ku selalu merasakan beban ini

walau selalu terjalin suatu benci

namun akankah kau mengerti

seluruh kata kutulis

dan kuucap dengan sepenuh hati

dengan nafas yang tak pernah melemah

penuh harapan kepadamu

tak tahu dimanakah awalnya

rasa ini tumbuh dengan tulus

dan apakah ini akan berakhir

semuanya di luar kuasaku

hanya saja selagi ku hidup

seluruh pikir dan ilham untukmu

takkan kubagi walaupun setetes

segenap hidupku untukmu  


Aku mendengarkan lagu dari Shanty dengan khidmat saat seorang kerabat Fanya bernyanyi untuk kedua mempelai. Tak berawal dan tak berakhir. Sesekali mendendangkan lagu itu dengan penuh penghayatan bersama Emil dan Audy. Lalu tertawa bersama karena ekspresi kami yang seperti orang mau pup. Sekilas aku melihat Dulfi mengarahkan kameranya padaku. Aku cuek dan kembali bernyanyi lalu menghampiri Bu Yay dan Bu Bos yang cantik mengenakan kebaya berwarna senada dengan milikku.

Sejak pukul satu siang, resepsi telah dimulai. Setelah akad nikah tadi kami telah berfoto bersama kedua mempelai. Bahkan Bunda menggenggam tanganku saat aku hendak pergi ketika Keluarga besar Sudjito sedang berfoto. Aku terharu. Saat bersama keluarga ini aku bisa tertawa lepas ketika Eyang Suryono berfoto dengan gaya yang diarahkan oleh Tania dan Arka. Yang paling lucu dan membuat terpingkal adalah saat Eyang bergaya duck face. Oh Tania dan Arka, kualat kalian ngerjain orang tua.

Tamu undangan  memadati hotel dimana resepsi Fanya dan Anjas digelar. Dulfi masih memegang kamera dan terus mengarahkannya kepadaku. Aku agak terganggu dengan sikapnya karena aku tidak suka menjadi pusat perhatian.

"Please Fi, berhenti motoin aku" pintaku ketika berhasil menarik Dulfi keluar dari hotel.

Kami duduk diloby hotel tempat acara berlangsung. Beberapa kenalan Dulfi menyapanya dan menyapaku juga. Great! Kami seperti sepasang kekasih. Salah satunya mengenaliku sebagai kekasih Dulfi. Kami pernah bertemu disebuah kafe tempat Anjas melamar Fanya.

Aku hanya tersenyum ramah. Enggan menjelaskan hubungan kami. Dari jauh Putra tampak tergesa menghampiri kami. Ia berjanji akan mengantarkanku pulang sore ini.

"Ri, maaf, nanti aku jemput kamu ya, aku ke rumah sakit dulu, Isna lahiran" kata Putra dengan tergesa. Zay mengikuti Putra dibelakangnya. Putra tau jika Ori tak mungkin meninggalkan acara Fanya.

"It's Okey Put, biar aku aja yang antar pulang" Dulfi menggenggam tanganku lembut. Genggaman yang dulu sering ia berikan meskipun aku berusaha menolaknya.

Kugelengkan kepala seraya memijit pangkal hidungku yang mulai penat. Aku ingin drama ini segera berakhir. Tak bisakah, Dulfi kembali menjadi seperti yang biasa? Aaah iya, aku ingat, biasanya Dulfi memang seperti ini. Melakukan semuanya semaunya  dengan perhatian yang penuh hingga sebuah cahaya kecil menerangi sudut hatiku yang gelap. Gelap karena aku tak mampu dan kehabisan tenaga untuk membayar tagihan listriknya. Becanda ding. Jangan galak-galak atuh mah.

ORITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang