Part 22

30 5 0
                                        

Kwangmin menatap Youngsun yang sedari tadi diam, ia menghela nafas. "Kau kenapa?" tanyanya sambil mengusap rambut Youngsun, membuat gadis itu kaget.

"Maafkan aku, aku bengong tadi." ujar Youngsun, membuat Kwangmin memutar matanya.

"Ada apa, sih? Apa ada yang kau pikirkan? Apa yang kau sembunyikan dariku?"

Youngsun terdiam, lalu tersenyum. "Aku ke toilet dulu, sebentar." ujarnya sambil beranjak, lalu pergi.

Kwangmin terdiam, ia menghela nafas panjang. "Apa yang terjadi padanya? Apa ia tengah memikirkan Youngmin Hyung?" ujarnya sambil mengusap rambutnya, pelan.

Tatapannya tertuju pada sebuah buku bersampul pink yang sedikit menampakkan dirinya dalam tas Youngsun, ia mengambil buku itu. "Buku apa ini?"

Dengan penasaran, ia membuka halaman perhalaman buku itu. Ia membacanya beberapa halaman, tapi bacaannya terhenti saat ia melihat nama Youngmin disana. Ia membacanya, lalu menghela nafas. Ia tersenyum kecut, ia benar-benar merasa jadi pengecut sekarang.

"Maaf, aku la---"

Mata Youngsun membulat, saat ia melihat Kwangmin memegang buku hariannya. Ia segera merebutnya, lalu memeluk buku itu. "Kau belum membacanya, kan?"

Kwangmin terdiam, lalu menatap Youngsun. "Sedalam itu perasaanmu padanya?" tanyanya, pelan.

Youngsun terdiam, ia menunduk. "Aku---"

"Kenapa kau tak bisa menyukaiku? Kenapa kau hanya bisa terpaku pada Youngmin Hyung?" tanya Kwangmin, masih dengan nada pelan.

Youngsun terdiam, ia memilin tangannya. "Maaf."

Kwangmin tersenyum, lalu segera mengambil tasnya. Ia beranjak, tapi Youngsun menahannya. "Mau kemana?"

Kwangmin menghela nafas, pelan. "Mencari udara segar, kau bisa pulang sendiri?" tanyanya, lalu ia pergi.

Youngsun ingin mencegahnya, tapi Kwangmin keburu pergi. Ia menunduk, ia meremas bukunya. Kenapa sih bukuku selalu dibaca tanpa sepengetahuan dan izin dariku?

Kwangmin menutup pintu kafe itu, lalu menghela nafas. Ia memukuli dadanya, setetes air mengalir dipipinya. Jangan menangis, bukankah sudah kukatakan? Kau sudah lihat mereka malam itu, disaat mereka jujur satu sama lain. Kuatkan hatimu, bukankah kau sudah tau resikonya?

***

Youngsun menatap keluar jendela malam itu, ia meminum coklat hangatnya. Minji telah tidur, karna pengaruh obat yang diminumnya. Tapi Youngsun tak bisa tidur, jadi dia memutuskan untuk diam di beranda apartemen itu.

Youngsun tersenyum, saat semilir angin meniup rambutnya. Ia merasa lega, seolah angin telah membawa bebannya dengan kehadirannya. Ia menatap kebawah sana, kerlap-kerlip berbagai gedung dan kendaraannya membuat Youngsun seperti melihat permadani bintang-bintang dibawah sana.

"Kau belum tidur?" tanya seseorang, membuat Youngsun menoleh. Ia melihat Youngmin yang tengah berdiri dipintu, ditangannya ada buku.

"Kau juga?" tanya Youngsun, sedikit gugup.

Youngmin menghela nafas, lalu ia menutup pintu itu. Ia menghampiri Youngsun, berdiri disampingnya. "Itu apa? Ditanganmu?"

"Coklat, kau mau?" jawab Youngsun, pelan.

Tubuh Youngsun menegang, saat Youngmin memegang tangannya dan meminum coklat hangat itu. Youngmin tampak acuh, lalu ia menarik tangannya lagi. "Cukup enak, tapi sudah dingin."

"Hm, kalau mau, aku bisa buatkan."

"Tidak, itu cukup." ujar Youngmin, tersenyum sedikit.

Youngsun mengangguk, lalu ia meminum coklatnya lagi. "Kau membaca buku?"

"Kalau tak bisa tidur, biasanya aku membaca buku. Tapi sepertinya tak ada buku yang bagus, jadi aku hanya mengambil bukunya dengan asal." ujar Youngmin sambil menunjukkan buku yang ia bawa, sebuah novel.

"Kalian benar-benar berjodoh." ujar Youngsun, membuat Youngmin menatapnya. "Itu adalah novel favorit Minji, sejak JHS."

Youngmin terdiam, lalu menaruh buku itu dihadapannya. "Malam sangat Indah, apa kau tak kedinginan?"

"Sedikit, tadi aku hanya minum ini."

Lagi-lagi tubuh Youngsun menegang, saat Youngmin tiba-tiba memeluknya dari belakang. Ia menatap Youngmin dari samping, kaget.

"Sebentar saja, aku ingin memelukmu." bisik Youngmin, pelan. "Maaf, aku telah jadi pengecut." Ujarnya, membuat Youngsun menatapnya. "Aku tak berani mendekatimu, karna aku takut merusak kebahagiaan Kwangmin."

Youngsun hanya diam, menunduk.

"Dia adalah satu-satunya hal yang kusayangi, selain kedua orangtuaku. Dia adalah segalanya bagiku, jadi aku tak bisa membuatnya kecewa."

"Aku mengerti, aku bisa mengerti."

"Tidak, kau tak mengerti. Aku mengatakan ini bukan untuk meminta pengertian darimu, tapi aku hanya ingin mengatakan semuanya meskipun terlambat."

Youngsun terdiam, ia menatap Youngmin yang melihat langit. "Aku menyukaimu juga, Sunbae."

Ucapan Youngsun membuat Youngmin terdiam, ia menatap serius Youngsun. "Apa?"

Youngsun tersenyum, lalu menatap langit. "Seperti yang kau bilang, semuanya terlambat. Kwangmin sangat baik padaku, aku juga tak mau membuatnya kecewa. Selain itu, Minji juga menyukaimu. Aku tak mau, dia kembali sakit seperti ini."

Youngmin menghela nafas, pelan. "Aku tau, aku mengerti. Aku keterlaluan menolaknya, makanya---"

"Sunbae adalah cinta pertamanya, jadi wajar kalau dia bersikap seperti itu. Kalau aku jadi dia, mungkin aku akan lebih parah dari dia."

"Kau memiliki cinta pertama?"

"Aku tak pernah sekalipun dekat dengan pria lain, selain kalian dan Jeongmin Oppa, tentu saja ayahku."

"Bagaimana dengan Jeongmin? Dia cukup tampan dan sepertinya sangat bisa diandalkan, dia juga---"

"Apa kau lupa sekarang aku punya Kwangmin?" ujar Youngsun, membuat Youngmin terdiam.

"Ah, iya." ujar Youngmin sambil melepaskan pelukannya, membuat Youngsun menatapnya. "Maafkan aku, aku terbawa suasana."

Youngsun memegang ujung kaos Youngmin, saat pria itu memutuskan untuk pergi. Youngmin terdiam, lalu menoleh. "Apa kau marah?"

Youngmin menghela nafas, pelan. "Aku tak bisa, Kwangmin adalah adikku."

"Kenapa? Hanya malam ini, bukan?"

Youngmin terdiam, lalu menatap Youngsun yang masih memegang ujung kaosnya. "Maafkan aku." ujarnya sambil menarik kepala Youngsun, lalu mengecup bibirnya.

Youngsun terdiam, lalu menutup matanya. Setetes airmata mengalir dipipinya, membasahi pipi Youngmin yang masih menciumnya. Pria itu memeluk Youngsun, tanpa melepaskan kecupannya.

Tanpa mereka sadari, seseorang melihat mereka dibalik pintu kaca itu. Ia meneteskan airmatanya, ia memukuli dadanya pelan. Dengan perlahan, ia pergi dari sana.

Gimana? Gimana? Gak dapet feelingnya? Atau ada yang baper? Alurnya kecepetan? Ada yang gak puas?

Maaf ya, aku masih author amatiran. Makasih yang udah mau mampir, usahakan tinggalkan jejak ya... Hehe, bye, see you soon!!!

YOU ARE MY DESTINY (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang