Jingga menatap cemas Riff yang duduk dengan dikelilingi mainan di seprai lembut berwarna putih. Riff memang terlihat asik dengan dunianya sendiri, mengoceh ceria dengan mainannya, tanpa menyadari kalau fotografer sedang membidik kamera ke arah bayi berumur 7 bulan itu.
"Oke, bagus Riff!" kata fotografer terus memotret bayi itu.
Setelah beberapa saat, Riff yang menyadari namanya disebut, menoleh ke arah fotografer.
"Oh tidak," ucap Jingga ketika melihat bibir bayinya bergetar, keningnya mengerut, lalu mulai menangis keras. Jingga langsung bergegas menghampiri bayinya di tempat tidur lalu memeluknya sayang.
Rayyan menghela napas. "Al, kan gue bilang jangan manggil namanya," protes Rayyan kepada Altan, fotografer yang sejak tadi memotret putranya. "Lo emang nggak cocok motret bayi ya,"
Altan mengernyit dengan ucapan Rayyan. "Elo tau gue nggak biasa motret bayi, tapi tetep aja lo maksa gue," gerutu Altan.
"Hei! Ini pengalaman bagus buat lo! Fotografer lain semuanya pengen motret anak gue, tapi lo malah nolak,"
Altan menatap Rayyan datar. "Kan gue bilang, gue nggak biasa motret bayi,"
"Lo kan udah pernah motret obyek manapun, ini kan pengalaman bagus buat lo motret bayi. Apalagi bayi gue,"
"Yan, gue bukan fotografer bayi," ucap Altan datar dengan menahan kesal.
"Oh, please, can you two shut up?!" omel Jingga karena Riff masih belum menghentikan tangisnya. Tangannya dengan lembut mengelus-elus punggung Riff yang kini memeluk lehernya.
Di usia 7 bulan, Riff sudah menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam pertumbuhannya. Bayi itu sudah bisa duduk sendiri dan merangkak. Riff selalu tertawa saat bersama orangtuanya ataupun saat bermain dengan mainannya.
Namun bayi itu akan gampang menangis dengan orang-orang yang tidak familiar. Makanya Rayyan tidak menyarankan Altan untuk memanggil Riff saat pemotretan tadi, khawatir bayinya yang sedang asik bermain menyadari ada orang asing di dekatnya.
"Altan, disini ada nursery room? Aku mau nyusuin Riff dulu," kata Jingga.
"Sori, nggak ada. Tapi Rycca bisa nganter lo ke ruangan gue," kata Altan.
Rycca segera mengajak Jingga yang menggendong Riff yang masih menangis ke dalam ruangan Altan.
"Gimana sih, masa disini nggak ada nursery room?" protes Rayyan.
"Kan gue bilang, gue bukan fotografer bayi! Mana ada nursery room disini!" balas Altan yang kini sudah sulit menahan rasa kesalnya.
Rayyan berdecak melihat temannya yang kini sudah memberi tatapan tajam. Kalau mata bisa membunuh, mungkin Rayyan sudah berdarah karena disilet-silet sekarang. Kemudian ia pergi menyusul Jingga ke ruangan Altan.
"Ingetin gue lagi, kenapa gue mau motret bayinya si narsis itu?" tanya Altan kesal kepada stafnya.
"Karena dia bayar mahal,"
"Karena dia orang terkenal yang bisa bikin studio kita makin terkenal,"
"Yang bener sih karena kalian temen baik. Susah kan nolak temen sendiri?"
Altan mengerang kesal dengan jawaban terakhir. Rycca benar, kalau mereka tidak berteman baik, Altan tidak akan setuju untuk memotret bayi manapun. Semahal apapun dia dibayar.
"Gue mau istirahat dulu. Nanti kalo Jingga udah kelar nyusuin, kasih tau gue," kata Altan meletakkan kameranya di meja.
"Ng... Kayaknya bakalan lama deh, Bang Al. Kata Kak Jingga abis disusuin, Riff bakalan tidur agak lama," jelas Rycca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear J
RomanceRayyan B. Harsandi Tahun ini Rayyan menginjak usia 30 tahun, dan ia merasa biasa saja dengan angka 3 di depan itu. Karena ia bahagia. Ya, bahagia! Menjadi pemusik dan produser musik yang sukses di usia yang terbilang cukup muda itu. Ray...