4 The first step to be real

27.7K 2.2K 72
                                    

Usai melakukan pemeriksaan di pintu gerbang, Jingga berlari-lari di halaman kompleks Bank Indonesia yang luas. Akibat mengobrol dengan pria di situs dating online itu hingga tengah malam, Jingga pun menjadi bangun kesiangan. Padahal ia ada liputan jam 8 pagi di bank sentral itu yang jaraknya mungkin bisa 2 jam perjalanan dari rumahnya dengan menggunakan kendaraan umum. Alhasil, ia mandi kilat dan bahkan tidak sempat membuatkan adik-adik dan keponakannya sarapan.

Setelah tiba di depan gedung yang menjadi lokasi acara, Jingga sedikit membungkukkan tubuhnya untuk menstabilkan napasnya yang terengah-engah akibat berlari. Ini yang membuatnya tidak suka terlambat kalau liputan kesini. Karena jarak dari pintu gerbang ke gedung yang biasa jadi tempat acara, mungkin sekitar 300 meter. Sementara Shuttle, mobil berwarna hitam yang biasa dijadikan kendaraan untuk mengantar tamu dari pintu gerbang, sudah beroperasi.

"Telat banget Mbak,"kata security saat Jingga meletakkan tasnya di mesin scan barang-barang dan melewati pintu detector.

Para petugas keamanan gedung tersebut sudah mengenalnya karena pressroom (ruang pers) juga berada di gedung tersebut. Sehingga mereka familiar dengan wajah-wajah wartawan yang biasa kesana. Apalagi Jingga bisa pergi kesana tiga kali dalam seminggu.

"Iya nih Mas, telat setengah jam,"ujar Jingga dengan meringis.

"Kenapa nggak lewat gerbang Thamrin?"

Di samping gedung tersebut merupakan Jalan MH Thamrin, sehingga bisa lebih mudah melewati gerbang itu. Dengan hanya bermodalkan kartu pers, petugas keamanan pasti akan membukakan pintu gerbang. Bahkan petugas keamanan yang sudah hapal dengan wajah wartawan akan langsung membukakan pintu begitu wartawan tersebut muncul di depan gerbang.

Berbeda dengan melalui gerbang utama yang berada di Jalan Budi Kemuliaan yang jaraknya sangat jauh dari Gedung Thamrin. Apabila ada yang tidak bisa menunjukkan kartu pers, diwajibkan meninggalkan KTP disana.

"Saya nggak naik TJ Pak, naik ojek dari stasiun,"jawab Jingga. Biasanya kalau naik Transjakarta, Jingga akan berhenti di halte busway Bank Indonesia yang berada di depan gerbang Thamrin.

Ia mengambil tasnya yang sudah melewati mesin scanning. "Pak Menko udah balik?"tanyanya.

"Pak Menko belum ada turun,"kata bapak security itu.

"Sip. Makasih Mas!"kata Jingga lalu menuju lift dan langsung masuk ketika pintu lift terbuka.

Jingga menekan tombol lantai 4 dan menelan ludahnya gugup saat menyadari jika ia benar-benar sendirian di dalam lift. Sejak kejadian ia terjebak di lift hotel beberapa minggu lalu, Jingga memang selalu takut naik lift sendirian. Tidak berapa lama lift berhenti di lantai 4 dan ia bergegas keluar.

Jingga langsung tersenyum lebar saat melihat Menko Perekonomian dengan ajudan-ajudannya berjalan menuju lift. Di belakangnya, ia melihat teman-temannya kembali masuk ke dalam ruang acara setelah selesai 'doorstop' Menko.

Doorstop merupakan istilah wartawan yang berasal dari kata 'door' dan 'stop' yang berarti wawancara dengan menghentikan narasumber di depan pintu. Tapi secara teknis doorstop tidak hanya dilakukan di depan pintu, namun dimanapun saat narasumber hanya bisa melayani sebentar saja pertanyaan wartawan, dan kerap kali berjalan terburu-buru untuk segera pergi.

Dengan bersemangat ia menghampiri Menko yang baru tiba di depan lift dan menyapanya ramah. "Pak Menko,"sapanya berusaha menerobos benteng para ajudan itu. "Pak, mau tanya dong,"

"Senja,"ucap Menko dengan tersenyum. "Saya nggak lihat kamu tadi,"

Jingga menjawab dengan meringis. "Telat Pak, baru sampe,"katanya. "Pak, Pak, mau tanya sedikit dong,"ucapnya cepat dengan mengarahkan recorder-nya ke Menko saat melihat salah satu ajudan sudah mempersilahkan Menko masuk ke dalam lift yang terbuka.

Dear JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang