TYB #6.a

6.3K 543 18
                                    

Empat pasang mata itu tertuju sepenuhnya pada nisan bertuliskan 'Sinar Risti Mawangi'. Mereka sama-sama menaruh rindu pada sosok gadis kecil yang terkubur di dalam sana itu.

Sinar bagian dari mereka, sebelum nyawanya terenggut kurang lebih enam tahun yang lalu.

"Gimana? Udah seneng 'kan kami berempat dateng bareng ke sini." Ria bertanya sambil mengusap-usap nisan itu.

Sama seperti Bintang dan Lintang, Sinar adalah anak kandung Ria dan Robi. Umur Sinar bila sekarang masih hidup sama seperti dua saudaranya karena mereka itu adalah anak kembar tiga.

Di antara kembar tiga itu, Sinar yang paling terakhir lahir. Lintang yang lahir pertama, sedangkan Bintang lahir setelah Lintang.

Semasa hidup, Sinar menjadi satu-satunya anak perempuan pasangan Robi dan Ria. Karena itu, dia paling dimanja oleh kedua orangtuanya, dan sering bikin Lintang dan Bintang dibuat iri. Namun biarpun begitu, Bintang dan Lintang tak pernah memusuhi gadis itu selama hidupnya.

"Iya' kan? Sinar udah seneng." Ria mengulangi perkataannya lagi. Meskipun sesak, dia memaksakan senyumnya.

Semalam Ria didatangi Sinar lewat mimpi. Anak itu bilang, lagi kangen semua orang di rumah. Dia ngungkapin perasaannya pada Ria, kalau dia sedih karena sudah lama gak ada yang mengunjunginya. Dan di dalam mimpi Ria, Sinar mengatakan kalau ingin sekali-sekali keluarganya datang mengunjunginya dengan lengkap. Nggak sendiri-sendiri seperti biasanya.

Di sebelah Ria, Bintang ketawa getir. "Sin, gue ya yang paling lama gak ke sini." Tangan Bintang turut menyentuh nisan Sinar, "sorry, ya."

Ria yang saat ini tahu perasaan Bintang, lantas menoleh ke anak itu. "Sinar pasti ngerti kondisi kamu kok, Bin."

Bintang menunduk. Ria menyentuh pundak putranya itu dan tersenyum. "Dia gak akan marah sama kamu."

Bintang perlahan mengangkat kepala, dan tersenyum sendu. Mungkin benar kata bundanya, Sinar yang ia kenal itu anaknya memang gak gampang marah.

"Sinar, saudara gue yang paling baik. Lo apa kabar?" Kali ini gantian Lintang yang bersuara. Semua orang kini berpaling memperhatikan anak itu.

"Baik 'kan? Baik 'kan? Baik?" Lintang berujar masih dengan nada cerianya.

Nampak kini mata Lintang bergerak-gerak memperhatikan makam Sinar. Dua detik setelahnya, Lintang tersenyum lebar. "Wah, cokelat yang gue kasih, udah lo habisin, Sin?"

Sinar memang pecinta cokelat, makanya setiap Lintang berkunjung ke makam Sinar, selalu membawakannya makanan itu. Biasanya 3 sampai 10 batang. Terakhir dirinya ngunjungin makam Sinar sebulan yang lalu. Seingatnya, ia menaruh 5 batang cokelat di atas makam saudaranya itu.

"Eh, lu. Sinar mana mungkin nyentuh cokelat pemberian lo, apalagi sampai ngabisin," sahut Bintang. "Kenapa cokelatnya bisa ilang, itu yang ada diambil orang, bukan dimakan Sinar, bego," cibirnya.

Mendengar itu, Lintang melirik sinis Bintang. "Sok tahu lu," balasnya.

"Gue nggak sok tahu, tapi emang kenyataannya begitu."

Bintang benar tak habis pikir dengan pikiran saudaranya itu. Sinar sudah meninggal, mana mungkin bisa makan? Mungkin gara-gara kebanyakan nonton sinetron nih, Lintang jadinya percaya hal begituan.

"Ah, diem lo!" balas Lintang seketika. "Ini lagi di makam. Jangan bikin gue emosi deh," lanjutnya.

Bintang melirik ke wajah Robi. Melihat ekspresi ayahnya sekarang, sepertinya dirinya memang jangan bersuara lagi. Tatapan itu sangat jelas sedang menahan emosi. Bila dirinya membalas perkataan Lintang lagi, bisa jadi setelah ini ayahnya akan menguburnya hidup-hidup. Apalagi tempatnya lagi pas banget di kuburan.

Perhatian Lintang sudah kembali sepenuhnya ke makam sinar. Cowok itu melepas tas, lalu mengambil cokelat dari sana.

"Gue bawa lima batang lagi buat lo, Sin." Lintang memandang cokelat ditangannya dan nisan itu secara bergantian. Lalu, cowok itu menaruh lima batang cokelat itu di depan nisan makam Sinar.

"Gue gak tahu yang selama ini makan cokelatnya itu lo apa bukan. Yang jelas gue seneng kalau bawain lo cokelat ke sini." Mata Lintang berkaca-kaca saat mengatakan itu, membuat ketiga orang itu terenyuh.

"Gue kangen makan cokelat bareng lo," ucap Lintang. "Gue berharap lo dateng ke mimpi gue, dan kita bisa makan cokelat bareng lagi." Bintang mengakhiri ucapannya dengan senyuman paksa.

Robi merangkul pundak Lintang singkat. Dirinya tahu jika anak itu sedang berusaha agar tak menangis. Kini fokusnya teralihkan pada makam anak kesayangannya itu.

Sin, Ayah kangen banget sama kamu. Robi mulai bercurhat dalam hatinya. Ayah baik di sini, Nak, Bunda juga.

Tatapan Robi menyendu. Dua saudara kamu yang lagi gak sehat. Tiga hari yang lalu mereka sakit bareng, tapi tenang aja nggak pada parah kok. Robi tersenyum tipis.

Tentang sakitnya Bintang dan Lintang beberapa waktu lalu, gak perlu dipikirin dalam-dalam. Setelah diperiksa di rumah sakit, tidak terjadi apa-apa kok di kepala Bintang. Sedangkan kenapa Lintang sampai demam dan jatuh pingsan ternyata anak itu terkena anemia.

Nak, kami di sini selalu doain kamu. Kamu di sana yang deket sama Tuhan, bilangin suruh ngasih kesehatan terus buat kami, ya. Terutama pada dua saudara kembarmu yang masih sangat muda itu. Robi menghela napas berat, lalu menunduk dalam untuk menyembunyikan kesedihannya.

Robi sekeluarga terus berada di makam itu seiring dengan berjalannya waktu. Hingga lima menit kemudian, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang.

☆☆☆

Thank You Brother [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang