"Tang, batuk lo kok gak sembuh-sembuh, sih."
"Mana gue ngerti." Lintang membalas perkataan Rafli jengkel. "Padahal dari dua hari yang lalu, gue minum obatnya dua butir-dua butir terus. Tapi, batuknya tetep aja gak ilang-ilang!"
"Apa?" kaget Rafli. "Lo minum obatnya udah sampai dua butir gitu, tapi masih aja gak manjur?"
Tanpa membalas perkataannya, Lintang hanya menatap serius Rafli.
"Tang, gue kok jadi curiga, ya. Jangan-jangan paru-paru lo udah kena lagi." Rafli langsung memejamkam mata dam memegang keningnya, tak bisa membayangkan bila apa yang dikhawatirkannya selama ini benar terjadi.
Sudah seminggu ini Lintang kena batuk, tapi bukannya sembuh Lintang malah terlihat tambah parah. Sahabatnya 'kan perokok berat, jadi kemungkinan besar itu memang bisa terjadi nyata.
"Lo ngomong apa, sih?!" ucap Lintang usai mendorong kepala Rafli. "Jangan bikin gue takut, deh," lanjutnya.
Mendengar itu, Rafli jadi jadi tertawa pelan. "Lo tuh aneh, Tang. Takut kena penyakit, tapi lonya sendiri gak mau ninggalin hobi buruk lo itu." Tangan cowok itu kemudian terulur mengambil plastik berisi gorengan di atas meja, lalu menggigit tahu isinya.
"Raf--uhuk-uhuk." Lintang terbatuk-batuk setelah beberapa menit sempat tak batuk. "Udah. Jangan ngomong aneh-aneh, deh," lanjutnya.
Rafli berhenti memakan gorengannya sementara, lalu sepenuhnya fokus menatap Lintang. "Gue gak bercanda lho, Tang," ucap cowok itu serius. "Bukannya gue nakut-nakutin, tapi kemungkinan besar lo emang bisa kena. Mengingat lo...."
"Raf," tegur Lintang berharap Rafli tak melanjutkan perkataannya lagi. Omongan Rafli sebelumnya saja sudah berhasil bikin Lintang takut. Dan Lintang gak mau makin diserang rasa takut lagi karena ucapan-ucapannya.
Rafli yang paham akan teguran Lintang pun, akhirnya benar tak melanjutkan perkataanya, dan sengaja menggantikannya dengan perkataan lain yang lebih berguna. "Sebaiknya lo periksa ke dokter aja, deh," saran Rafli. "Gue takut itu beneran gejala," lanjutnya.
Muka Lintang sekarang benar-benar pucat. "Raf, ih." Cowok itu makin kesal pada Rafli. Detik selanjutnya Lintang terbatuk-batuk lagi. Dan efeknya juga menyerang dadanya.
"Tuh, lo sesek 'kan?"
Lintang melirik singkat Rafli, tanpa minat membalasnya. Jika jujur, dirinya memang merasakan sesak saat ini. Tapi, bukan berarti itu gejala penyakit mematikan, bisa jadi memang karena serangan batuknya yang menyiksanya seminggu ini.
"Tang, jujur gue takut lo kenapa-kenapa," ucap Rafli setengah menyentak. "Ke dokter ya nanti abis pulang sekolah." Nada ucapan Rafli merendah.
"Raf, gue takut!" sentak Lintang. Sebelumnya cowok itu juga sempat menghentakkan kaki. Lintang sekarang menatap lurus ke papan tulis sambil menggigit jempol kanannya.
"Gak pa-pa. Gue temenin, Tang."
Sampai detik ini Bintang masih mengunci mulutnya, membuat Rafli seketika berseru, "gue bayarin sekalian!" Cowok itu juga tersenyum lebar, berharap Lintang mau dengan tawarannya.
Rafli terus setia menanti jawaban Lintang. Cukup lama. Rafli sempat gemas sendiri. Namun setelahnya, usahanya gak sia-sia. Lintang akhirnya mau dengan penawarannya.
Rafli lantas menggebrak meja senang. "Nah, gitu dong."
Lintang cuma manyun-manyun samar melihat sahabatnya seperti itu. Sekarang ini perasaannya kesal dan takut beradu jadi satu.
☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You Brother [Complete]
Short Story"Kenapa sih gue ditakdirin punya kembaran senyebelin dia?" -Lintang Rafka Pamungkas- "Kami kapan akur, sih?" -Bintang Rafka Pamungkas- *** #3 in short story 9/11/2017 Cover by @mikishikatoka ❤ T H A N K Y O U , B R O T H E R 2 0 1 7