TYB #8.b

5.3K 507 40
                                    

Siapin tisue, ya.

☆☆☆

"Ayah kenapa banting HP aku?" tanya Lintang dalam keadaan bingung campur emosi. Sekali lagi, dirinya menatap nanar ponselnya yang sudah setengah hancur karena baru saja dibanting keras oleh ayahnya itu.

"Masih nanya Ayah kenapa?"

Ucapan Robi kalem, tapi ekspresinya itu yang bikin Lintang sekarang tak ingin memandangnya. "Aku salah apa, Yah," tanyanya sedikit meringis menatap wajah garang ayahnya.

Lintang menunggu balasan dari ayahnya dengan takut. Jujur, dirinya juga bingung, kenapa ayahnya itu terlihat marah kepadanya. Apa dirinya telah melakukan kesalahan?

Tapi apa?!

Akhirnya setelah beberapa detik terdiam bersama emosi yang tertahan di dada, untuk kedua kalinya Robi memberi pelajaran ke Lintang. Kali ini dia membanting laptop putranya itu masih ke lantai.

Robi memang tegas dan keras, tapi jika dia murka kepada putra-putranya, dia lebih suka merusak barang berharga milik mereka daripada harus memukuli fisik keduanya.

"Ayah, Lintang salah apa?" tanya Lintang untuk kedua kalinya. Sampai detik ini, dirinya masih nggak tahu alasan ayahnya bisa semarah ini.

"Salah kamu," Robi menunjuk muka Lintang geram, "bikin Bintang sampai ketabrak mobil, Lintang!"

Lintang membeku dengan mulut menganga kaget. Apa? Bintang ketabrak mobil?

Mendadak rasa khawatir muncul di hati kecil Lintang pada Bintang, tapi hanya singkat karena mengingat tuduhan ayahnya yang menyebut dirinya sebagai penyebab saudaranya celaka.

"Aku yang bikin Bintang ketabrak mobil?" ucap Lintang. "Nggak, Yah, bukan aku. Kenapa Ayah bisa nuduh aku kaya gitu?" Lintang nyaris saja menyentak karena emosi.

"Ayah gak nuduh kamu Lintang! Tapi, Bintang sendiri yang ngomong ke Ayah kalau kamu sengaja ninggalin dia di tengah jalan ...."

Detik itu juga, Lintang terperangah.

"... Kamu 'kan sudah Ayah bilangin, jangan biarin dia keluar rumah sendirian! Apalagi sampai kamu tinggalin di tengah jalan SEDIRIAN!"

Lintang secepatnya menggelengkan kepala. "Bintang boong, Yah," bantahnya. "Aku nggak ngelakuin itu.... Bintang sendiri yang berani keluar rumah tanpa aku, Ayaaaah," jelasnya diiringi kaki yang beberapa kali menghentak gelisah. Jika ayahnya tak percaya, ini bisa menjadi sebuah bencana besar umtuknya.

"Untung Bintang hanya dapat luka ringan, Lintang." Robi tak mempedulikan ucapan Lintang. Pria itu lebih percaya Bintang karena yang sesungguhnya sering bohong kepadanya itu adalah Lintang. "Coba kalau dia parah, Ayah bakal masukin kamu ke asrama hari ini juga, Lin." Pria itu menggertakkan giginya di akhir kata.

"Yah, beneran. Aku nggak boong! Percaya dong sama aku, jangan sering ke Bintang aja!" Akhirnya Lintang beneran menyentak.

Dada Robi naik turun setelah mendengar ucapan bernada tinggi itu keluar dari mulut Lintang. Itu jelas salah satu sikap tidak sopan pada orangtua. Dan itu membuatnya semakin emosi.

"Selama sebulan, jangan ngarep kamu dapat uang jajan dari Ayah. Kamu jangan ngarep juga bisa keluar rumah," ucap Robi sambil mundur ke belakang, "kecuali pas sekolah," lanjutnya.

"Ayah! Ayah, gak bisa gitu dong. Aku gak salah, Ayah!" protes Lintang, namun sayangnya Robi tak menggubrisnya.

Robi keluar kamar Lintang setelahnya, Lintang tak bisa menahan tangisnya detik itu juga. Robi paling benci kalau melihat dirinya dan Bintang menangis, makanya sendari tadi dirinya tahan mati-matian.

"Lintang."

Bersamaan dengan suara itu, Lintang merasakan tubuhnya hangat. Sang bunda nyatanya sedang memeluknya, ia lantas membalasnya. Tanpa malu, kemudian Lintang menangis agak keras di pelukannya.

"Kamu diapain sama Ayah?" tanya Ria cemas.

Lintang tak menjawab, cowok itu malah menunjuk letak barang-barangnya yang tergletak hancur di lantai.

Ria menghela nafas. Syukurlah suaminya gak main kekerasan. Dia sempat mikir begitu karena Robi pas naik ke atas tuh ninju-ninju tangannya sendiri.

"Besok bunda gantiin yang baru," hibur Ria.

Lintang seketika melepas pelukannya dengan Ria. "Bukan barang-barang ini Nda yang bikin Lintang sedih! Tapi gara-gara Ayah gak percaya sama aku, Ndaaa," jelasnya histeris, lalu menyembunyikan wajahnya di bahu bundanya. Lintang pun menangis kembali.

"Bunda percaya 'kan sama aku? Aku nggak mungkin nyelakain saudara aku sendiri."

"Iya, Bunda percaya sama kamu," balas Ria lirih. Banget malah.

Sementara di sisi lain, Robi baru menginjakkan kaki di lantai bawah. Dia langsung menghampiri Bintang yang ternyata masih belum ke kamarnya. Padahal tadi dia sudah menyuruhnya.

Ada perban di lengan kiri dan pipi kiri Bintang. Itu luka karena tertabrak mobil tadi. Selain itu gak ada luka serius yang Bintang terima, kepalanya pun berhasil terlindungi berkat tangannya sendiri.

"Kenapa belum masuk?"

Bintang meneguk salivannya. Dirinya masih betah di situ, sebenarnya karena ingin mendengarkan suara ayahnya memarahi Lintang. Biar samar-samar, tapi dirinya berhasil menangkap beberapa.

Setelah kebohongan tadi ia ciptakan, Bintang sudah dihantui rasa bersalah.

Bintang tarpaksa menunduh Lintang karena dirinya sendiri takut bila ayahnya akan murka padanya.

Robi kalau marah ke siapapun suka gak mandang fisik. Mau lagi demam, batuk, lumpuh, sampai lain-lain pun, pria itu akan tetap datang menyemprot pada saat itu juga.

Bintang saja masih ingat saat baru saja dia keluar rumah sakit setahun yang lalu. Sampai rumah dengan emosinya, dia memarahinya dengan membabi buta soal penyebab kecelakaan itu terjadi.

Habis-habisan sekali pokoknya Robi memarahinya. Dan yang paling sadis, ayahnya itu memukuli motornya dengan tongkat besi di depan matanya langsung. Alhasil motornya yang sudah setengah hancur, menjadi makin hancur lagi karena aksinya.

"Diem aja. Ayo, istirahat," tegas Robi.

Bintang pun pasrah saat kursi rodanya didorong paksa ayahnya menuju kamarnya.

☆☆☆

Bintangnya nyebelin di part ini. Yang udah beneran ngambil tisue, silahkan buat nimpukin Bintang, ya. Wkwk.

Kalau byk typo maaf. Merem melek nih ngoreksinya.

Thank You Brother [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang