Sore ini adalah tepat tiga hari Lintang tak sadarkan diri. Tidak ada peningkatan kondisi pada anak itu. Lintang akan tetap kritis sebelum mendapatkan donor hati dan juga bisa jadi malah akan semakin memburuk.
Robi tak tinggal diam saja. Setiap hari dia berlari sana-sini untuk mencari donor untuk Lintang. Tapi, mencarinya itu gak semudah membalikkan telapak tangan. Syarat-syaratnya yang sangat banyak itu salah satu penyebab dia susah menemukannya. Harus benar-benar cocok, tidak boleh sembrono.
Kemarin ada orang yang mau mendonorkan, tapi sayang darahnya gak sama dengan darah Lintang, jadi transplantasi tak mungkin dilakukan. Robi sangat amat berharap segera menemukannya. Putranya sangat butuh itu secepatnya. Mau pendonor minta uang ratusan juta atau satu milyar pun dia akan berikan. Masa bodo kehilangan banyak uang. Baginya nyawa Lintang jauh terpenting.
Jika Robi sibuk mencari donor untuk Lintang ke mana-mana, Ria justru setia menemani anaknya itu di rumah sakit.
Perasaan wanita itu tetap sama seperti pertama mendengar kondisi Lintang. Tetap sakit dan pedih. Siapun itu, seorang ibu akan merasakan semua itu bila mengetahui ķondisi anaknya berada di antara hidup dan mati.
Wanita itu saat ini masih belum beranjak dari ruangan serba putih di mana putranya memejamkan mata selama tiga hari ini. Padahal dia sudah ada di ruangan itu sejak tujuh jam yang lalu, tanpa makan dan minum sedikitpun. Yang dilakukan Ria selama itu hanya terdiam sambil sekali-sekali memandang wajah dan memegangi tangan Lintang.
"Bunda kangen sama suara kamu, Lin," ucap Ria pelan. Matanya menatap sendu wajah Lintang yang terhiasi oleh masker oksigen.
Tangan wanita itu terulur mengusap pipi anaknya. "Tetap bertahan ya, sampai Ayah dapetin donor yang cocok buat kamu," lirih Ria dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan pernah ada niat nyusul Sinar," tegas Ria. "Bunda gak mau kehilangan anak untuk kedua kalinya."
"Kamu ingat? Bintang juga pernah ngerasain kondisi seperti kamu gini." Ria menjeda lagi ucapannya. "Tapi, waktu itu dia hebat karena bisa buka mata lagi," lanjutnya diakhiri senyuman.
"Lintang... Lintang juga harus buktiin ke Bunda ... kalau Lintang juga bisa hebat kaya Bintang."
Ria terdiam sejenak, sekedar ingin mengambil oksigen. "Pokoknya kamu jangan nyerah. Nanti kamu diejek lho sama Bintang." Wanita itu memaksakan diri untuk tersenyum.
Ria hendak bersuara kembali, namun karena mendengar suara pintu ruangan terbuka, dia jadi batalkan niatnya itu. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Robi dengan ekspresi bahagianya.
"Ya," panggil pria itu sambil berlari pelan mendekati istrinya, "kata Dokter Wisnu, Lintang udah dapat donor hati yang cocok!"
"Apa, Mas? Lintang udah dapet donor yang cocok?" tanya Ria ulang.
Robi menangguk.
"Serius, Mas?" Ria masih tak percaya. Namun senyum lebar nampak terbit di akhir katanya.
"Mas, serius, Ya." Robi mengangguk untuk kedua kalinya.
Kali ini Ria sudah seratus persen percaya. Dia dengan bahagianya menengadahkan tangan, lalu segera mengucap syukur pada yang maha kuasa.
"Mas Robi, emangnya siapa yang mau donorin hatinya untuk anak kita?" tanya Ria antusias. "Aku mau berterima kasih banget sama dia," lanjutnya.
Senyum di wajah Robi meluntur seketika. Digantikan oleh ekspresi bingungnya. Pria itu garuk-garuk tengkuknya. "Gak tau," balas pria itu. "Kata dokter, pendonornya nyuruh ngerahasiain identitasnya."
"Kok gitu sih, Mas?" tanya Ria merasa aneh. "Emang dia gak mau kita bayar?"
Robi menggeleng cepat. Mana dia tahu.
☆☆☆
Part selanjutnya udah ending, ya. Dan part terakhir itu, aku bakal private. Jadi, follow aku dulu kalau mau baca.
Spesial part terakhir, aku bikin agak panjang dibanding part-part sebelumnya. Oke, sudah. Terima kasih dan selamat sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You Brother [Complete]
Short Story"Kenapa sih gue ditakdirin punya kembaran senyebelin dia?" -Lintang Rafka Pamungkas- "Kami kapan akur, sih?" -Bintang Rafka Pamungkas- *** #3 in short story 9/11/2017 Cover by @mikishikatoka ❤ T H A N K Y O U , B R O T H E R 2 0 1 7