•Part 14•

5K 447 4
                                    

Pagi telah tiba. Bodohnya aku karena sangat berharap hari ini semua akan baik-baik saja. Padahal aku tau semuanya sedang tidak dalam keadaan baik. Sejak kejadian itu aku yakin Ali sudah membenci aku, fans Ali pun tak henti-hentinya membully aku di media sosial.

Aku memukul-mukul pelan dadaku sambil menghembuskan nafas panjang. Tujuannya untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa melewati masalah ini. Tenang Prill, semua akan berlalu.

Aku beranjak dari tempat tidurku untuk siap-siap ke sekolah. Berita masalahku kemarin sudah pasti di dengar oleh fans Ali yang ada di sekolahku. Iya, aku takut jika mereka akan membully-ku. Tapi biar bagaimanapun aku harus tetap sekolah.

Selesai bersiap-siap, aku turun ke bawah untuk sarapan. Sudah ada Papa dan Mama di meja makan. Mama menyambutku dengan senyuman sedangkan Papa tetap fokus pada koran di tangannya. Aku mengehembuskan nafas kasar lalu mengambil tempat duduk di samping Mama. Gak seperti biasanya, suasana di meja makan sangat canggung.

"Sini biar Mama buatin rotinya," kata Mama sambil mengambil alih roti yang ada di tanganku. Saat sudah selesai, Mama menaruh rotinya di piringku.

Dan acara sarapan ini selesai tanpa ada yang membuka suara. Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Setelah itu aku  beranjak dari tempat duduk.

"Prilly berangkat," pamitku dengan suara pelan. Aku pun mengatakannya tidak sambil menatap Papa dan Mama. Aku takut.

"Iya, hati-hati di jalan," balas Mama.

"Pulang sekolah gak usah kemana-mana lagi!" perintah Papa dengan suara beratnya. Dan juga tatapan dingin Papa yang buat aku semakin takut. Padahal hari ini aku punya tugas kelompok dan akan mengerjakan tugas itu di rumah Sasa. Tapi jika sudah begini, bisakah aku membantah Papa?

"Iya, Pa."

Setelah mengatakan itu aku meninggalkan meja makan. Supirku sudah menunggu di depan dan aku pun langsung memasuki mobil dengan muka masam. Ini baru di rumah, belum lagi fans Ali di sekolah. Rasanya aku ingin menghilang dari muka bumi.

Aku memukul kepalaku pelan, "Bego sih lo Prill!"

Mobil yang aku naiki rasanya cepat sekali sampai ke sekolah, cepat sekali membawa aku berhadapan dengan masalah. Benar, saat aku turun dari mobil, ada beberapa orang memandangi aku dengan sinis. Aku berusaha bersikap biasa saja. Padahal aku paling risih jika di tatap orang dan juga jantungku ini rasanya mau copot saja.

Beruntunglah aku hanya mencium Aliando yang fansnya tidak terlalu banyak di sekolahku.

Aih, lo ngomong apa Prill?

"Prilly!"

Suara Sasa menganggetkan aku. Dia berlari menuju kearaku yang jaraknya tidak terlalu jauh. Tapi hebatnya bisa membuat dia ngos-ngos-an.

"Prill," panggil dia lagi.

"Kenapa sih?" tanyaku.

"Hati-hati lo kalau ketemu sama genknya Kak Laras. Bisa habis lo sama dia."

Rasa takutku datang lagi. Padahal aku dan Kak Laras berteman baik. Biasanya kami dan juga Sasa sering mengobrol tentang Ali. Tapi karena masalah itu, Kak Laras marah besar. Terbukti saat aku lihat chat-nya yang berisi kata-kata pedas kemarin. Dan juga dia ikut membully aku di media sosial.

"Gue gak tau harus gimana lagi. Semua ALC yang gue kenal marah sama gue," kataku lesu. Sakit di putusin pacar gak seberapa sama sakit di musuhin teman.

Sasa menepuk pundakku dan tersenyum, "Gak semua kok. Masih ada gue ini. Pokoknya lo jangan putus semangat. Jadikan ini pelajaran buat elo."

"Makasih ya, Sa." Seenggaknya masih ada Sasa. Dia selalu ada untukku saat senang maupun sedih. Aku sangat beruntung punya sahabat seperti dia.

Aku dan Sasa berjalan ke kelas sambil mengobrol. Sebenarnya untuk mengalihkan pandanganku juga dari mereka yang balik memandangku tak senang.

"Udah lo santai aja. Gue bakal nonjok mereka kalau ada yang berani gangguin lo," ucap Sasa sok pahlawan dengan kedua tangannya mengepal seperti orang yang siap bermain tinju.

"Santai, santai. Lo belum nyobain ada di posisi gue kaya sekarang ini makanya lo bilang santai!" sungutku pelan. Aku hampir memukul kepalanya kalau tak ingat ucapan penyemangatnya tadi. Dan dia hanya cengengsan.

"Gue mau sih. Pas bagian nyoba cium pipi Ali aja," balasnya enteng.

"Gak jelas lo!"

Bel pun berbunyi, aku dan Sasa yang masih berjalan di tangga segera mempercepat langkah. Karena kami tau guru yang akan masuk adalah guru paling killer di SMA ini. Terlambat masuk kelas bisa panjang urusannya.

°°°

S

aat Pak Tagap sedang menjelaskan pelajaran, aku meminta izin ke toilet. Biasanya akan susah untuk diizinkan keluar kelas dengan alasan apapun. Tapi kali aku beruntung karena Pak Tagap berbaik hati untuk mengizinkan aku membuang air kecil yang membuatku tak tenang duduk sejak tadi.

Sebenarnya ada toilet dekat dengan kelasku, tapi aku tidak mau memakai toilet itu karena kotor. Jadi aku berjalan ke arah toilet yang bisa di bilang sedikit jauh dari kelasku. Gak apa-apa, yang penting toiletnya bersih.

Setelah kurang lebih 5 menit, aku keluar dari toilet. Betapa terkejutnya aku melihat 3 perempuan menghadang aku di depan toilet. Aku takut. Mereka adalah Kak Laras dan teman-temannya yang siap menghabisi aku.

"Kecil-kecil tapi udah berani banget nyium Ali ya?" kata Kak Laras dengan senyum sinisnya. Tiba-tiba tangannya menjambak rambutku keras, "Lo gak tau diri banget sih?!"

"Akh! Aduh Kak... sakit! Lepasin Kak, sakit!"

Bukannya mengundurkan jambakannya, Kak Laras malah menariknya lebih kencang lagi. Perih. Rambutku seperti ingin tercabut.

"Gue tau lo deket sama Ali tapi gue gak suka ya sama kelakuan lo! Gue jijik tau gak! Kok bisa ya gue kenal sama orang yang gak tau diri?! Inget Prill, lo cuma fansnya! Cuma fansnya!"

Kakiku lemas saat mendengar ucapan Kak Laras. Memang sejak kemarin aku sering membaca kata-kata kasar di sosial media. Tapi rasanya kali ini sama seperti Ali membentakku. Aku sudah tak punya tenaga lagi untuk bangkit. Air mata yang sedari tadi ku tahan akhirnya tumpah. Kalian tau aku gak sekuat itu.

"Nangis? Lo gak usah nangis deh! Berani berbuat, berani bertanggung jawab ya Prill! Makanya kalau ngelakuin sesuatu itu pikir dulu pakai otak!" bersamaan dengan selesainya Kak Laras berbicara, aku merasakan tubuhku basah dengan air dan butiran-butiran tepung menjadi pelengkapnya.

"Ma.. ma.. maaf.. in gu.. gue ka.. k." Aku menggigit bibirku keras. Entah aku harus berbuat apa. Aku hanya berusaha meminta maaf saja, selebihnya aku pasrah. Memang perbuatanku mencium Ali tidak bisa di bilang benar. Aku sadar sepenuhnya kalau aku bukan siapa-siapanya Ali. Tapi bisakah tidak berbuat seperti ini?

"Lo bilang gitu sama fans Ali di luar sana juga bakal gak mempan!"

"Ma.. mafin gu.. gue," kataku sekali lagi.

Aku terkejut Kak Laras membanting ember air tepat di depanku lalu berlalu begitu saja. Tinggalah aku di sini sendirian. Hatiku sakit mencerna semua ucapan Kak Laras. Benar, aku memang fans yang tidak tau diri. Aku terlalu terbawa perasaan dengan Ali yang selalu memberikan perhatian-perhatian kecil. Seharusnya aku sadar dan tau batasan antara idola dan aku yang hanya sekedar fans. Penyesalan  saat ini datang menyerangku bertubi-tubi.

°°°

Orang mageran update 😂

HBD Aliiiii. Doa terbaik di umur yang makin dewasa ini 💕

Grtl, 26 Oktober 2017

Dari Fans Untuk Idola ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang