0.4 || Belanja

34.5K 2.5K 102
                                    



Jam dinding di rumah Delvi sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan Nilo masih betah berada di rumah Delvi. Padahal Delvi sudah memaksa Nilo untuk kembali ke rumahnya.

"Pulang ih! Udah malem! Nanti, lo dimarahin Tante Dila!"

Nilo hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Ia belum ingin kembali ke rumahnya, karena yang ia bisa temukan disana hanyalah sepi. Lebih baik ia menemani Delvi sampai keadaan perutnya lebih membaik.

"Perut gue itu udah enggak kenapa-kenapa ih!" kata Delvi sambil mendorong bahu Nilo dengan pelan menggunakan kedua tangannya supaya Nilo mau beranjak dari kasur Delvi. Tetapi Nilo sama sekali tidak bergerak. Ia tetap mempertahankan posisinya itu.

"Males Vi, sepi." Delvi menautkan kedua alisnya mendengar kalimat yang diucapkan oleh Nilo. Sepi dimananya?

"Sepi? Apanya yang sepi deh?" tanya Delvi dan Nilo langsung menggeleng pelan.

Walaupun mereka berdua bersahabat dari kecil, bukan berarti semua hal dalam kehidupan masing-masing harus saling diketahui. Itulah yang terjadi saat ini dengan Nilo. Tidak semua hal tentang dirinya yang Delvi ketahui.

Delvi menggoyangkan bahu Nilo. "Kok diem? Kenapa?"

Nilo menggeleng pelan. "Enggak, maksud gue, kamar gue yang sepi. Speaker kesayangan gue lagi rusak terus persediaan milo gue di rumah untuk minggu ini udah habis. Rumah jadi sepi deh."

"Gitu aja ribet. Tinggal beli ke supermarket aja terus lo langsung minum deh," jawab Delvi yang hanya ditanggapi gelengan tipis oleh Nilo. Raut wajah Nilo sedikit berubah, menjadi lebih suram tepatnya.

Entah, apa yang membuat suasana hati Nilo berubah, Delvi juga tidak mengetahui hal itu. Selama bersahabat dengan Nilo. Jujur, Delvi sangat jarang memberikan perhatian kepada Nilo sebagai seorang sahabat. Delvi lebih sering menganggap Nilo sebagai angin lewat.

Kadang, hanya Nilo yang lebih sering memberikan Delvi perhatian khusus dan Delvi lebih sering tidak menanggapi perhatian Nilo itu. Ia malah lebih sering membuat Nilo terlihat lelah karena terkadang permintaan Delvi itu terlalu ribet dan aneh.

"Temenin ya?" tanya Nilo membuat lamunan Delvi itu langsung buyar seketika.

"Nemenin beli milo?" Nilo mengangguk sementara Delvi yang tadinya masih bersandar di kepala ranjang langsung menegakkan tubuhnya dan berkata, "Ogah!"

"Sendiri aja. Supermarket deket kan? Depan kompleks juga," kata Delvi dan Nilo mengangguk saja dan ia langsung menyambar jaketnya yang berada di atas rak buku milik Delvi lalu Nilo melangkah keluar kamar Delvi tanpa mengucapkan kalimat apapun.

Delvi menghembuskan napas kasar. "Pasti gue salah nih, pasti!"

Setelah bermonolog seperti itu, Delvi langsung bangkit dari ranjangnya dan ia melangkah keluar kamar sambil memegang perutnya menggunakan tangan kanannya.

"Nil tunggu!" cegah Delvi sembari berjalan mendekati Nilo yang sudah berada di ambang pintu membuat langkah Nilo terhenti kemudian ia memutar tubuhnya.

Melihat Delvi yang nampaknya masih sakit perut, Nilo langsung menghampirinya dan mengajak Delvi duduk di sofa ruang tamu.

"Kenapa ngikutin?" tanya Nilo dan sebuah lengkungan manis muncul di bibir Delvi.

"Mau nemenin lo ke supermarket aja," kata Delvi dan Nilo langsung mengacak gemas rambut Delvi. Delvi langsung memanyunkan bibirnya tanda kesal.

"Memang perutnya udah enggak sakit lagi? Emangnya kuat? Nanti kalau lo pingsan, kan, ribet," ucap Nilo yang hanya bisa ditanggapi gelengan oleh Delvi.

Behavior [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang