3.7 || Akhir

26K 1.8K 125
                                    


Bawalah Cintaku - Afgan

"Gue benci lihat lo nangis, Vi."

Delvi memejamkan matanya dengan pelan dan ia bisa merasakan kalau tangan Juna sudah mulai mengusap punggungnya yang mulai bergetar itu.

"Gue enggak bisa ngelihat perempuan yang gue sayang harus nangis karena gue, Vi."

"Lo tau, kenapa gue nggak pernah suka ngelihat lo deket-deket sama cowok lain selain gue?"

"Karena gue cuma takut kalau misalnya, lo hanya dijadiin bahan pelampiasan ataupun bahan taruhan mereka. Pernah, waktu itu ada anak IPA 3 pingin ngedeketin lo karena dia kalah taruhan. Saat itu juga, gue berantem parah sama dia, dan semenjak itu, ginjal gue yang lagi satu semakin melemah."

Delvi menerawang kejadian itu. Dia ingat, waktu beberapa bulan lalu, memang diberitakan kalau ada anak kelas IPA yang masuk rumah sakit karena perkelahian. Dan sekarang Delvi mengetahui semua itu.

"Vi, dengerin kalimat-kalimat gue ini."

"Kalau misalnya sekarang, ataupun nanti, lo ketemu gue yang udah tutup mata, tolong, jangan pernah tangisin gue. Tolong, jangan pernah bilang kalau lo benci sama gue, Vi. Jangan pernah ngerasa bersalah sama semua ini. Ini takdir yang harus gue hadapin. Dan, gue cuma minta satu hal dari lo."

"Tolong, kalau seandainya, gue memang harus pergi. Jangan nyimpen perasaan apapun lagi ke gue, buang semua perasaan sayang lo ke gue, jangan kasih celah sedikit pun untuk bayang-bayang gue masuk ke pikiran lo. Tolong jangan bodoh mencintai orang kayak gue, Vi."

"Gue janji, lo bakalan tetep jadi orang yang paling gue sayang selama gue hidup, Vi. Bahkan kalau gue meninggal ... gue akan tetap naruh posisi lo di hati gue yang paling dalam. Maaf, kalau semua ini terlambat bagi lo. Bahkan gue yakin, kata-kata maaf enggak cukup buat nebus semuanya. Dan gue akan tetap nunggu lo di surga nanti, Vi."

"Gue sayang lo, Vi. Sayang banget. Lebih dari sekedar sahabat."

Cairan di bola mata Delvi semakin deras turunnya ketika dia mengucapkan kalimat itu.

"Aku ... aku juga sayang sama kamu, Nil. Melebihi sayang kamu ke aku."

Saat itu juga layar di video menjadi hitam dan Delvi langsung menaruh laptop Alina di atas meja kantin itu dan berlarian menuju ruangan tempat dia di rawat.

Delvi langsung membukanya dengan perlahan dan berlarian menuju ranjang yang ada di sana, dan tubuhnya langsung kaku ketika melihat banyak sekali alat-alat yang dipasang di tubuhnya itu.

Delvi lebih mendekati ranjang itu dan cairan bening itu kembali turun lagi tanpa Delvi persilakan.

"Nilo ... kenapa kamu nggak pernah mau cerita apapun ke aku? Kita sahabat, Nil. Dan gunanya sahabat itu untuk bisa saling berbagi disaat yang lain membutuhkan. Kenapa kamu susah buat ngomong ke aku soal ini?"

Tangan Delvi tergerak untuk menyentuh tangan kanan Nilo yang diberi infus itu. Ia menggenggamnya dengan erat, seolah ia benar-benar tidak ingin melepaskan Nilo untuk yang kesekian kalinya. Sudah cukup baginya jika dulu ia selalu mengabaikan Nilo.

"Maaf, maafin aku. Selama ini, aku yang bodoh karena nggak bisa sadar tentang perasaan kamu, aku yang bodoh sama semua itu, Nil. Bukan kamu. Aku selalu nganggep, kalau kamu itu cuma bayangan yang lewat. Selama ini aku yang salah, Nil."

Cairan bening itu kembali turun dari kedua bola mata Delvi, bahkan semakin deras kali ini. Delvi tidak bisa menahan sesaknya ketika melihat orang yang selama ini selalu menampilkan wajah cerianya ternyata harus menanggung sakit seperti ini.

Behavior [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang