3.5 || Terbongkar?

19.2K 1.5K 23
                                    



Juna terlihat menghela napasnya dengan sangat kasar ketika Delvi memaksa untuk ikut ke rumah sakit menemaninya menemui Abang Alina. Tidak, Juna tidak ingin jika Delvi pergi bersamanya ke rumah sakit.

"Ayolah, Juna! Aku mau ikut ke rumah sakit!" seru Delvi masih dengan tangannya yang terus menggonyangkan tangan Juna berusaha supaya Juna mengizinkannya untuk ikut.

"Delvi, saya antar kamu pulang," sahut Juna dengan pelan sembari melepas tangan Delvi itu.

"Enggak. Nggak mau, pokoknya mau ikut!"

"Delvi! Jangan bandel!" seru Juna dengan suaranya yang sedikit meninggi membuat Delvi langsung menundukkan kepalanya.

Juna berdecak ketika melihat reaksi gadis di depannya ini. "Maaf."

"Kamu barusan bentak aku. Oke, aku nggak maksa buat ikut. Iya, kita pulang aja," sahutnya dengan pelan yang membuat Juna mengangguk mengiyakan.

Dan Delvi langsung mendongakkan kepalanya ketika tidak ada kata-kata protes keluar dari mulut Juna.

"Kita beneran pulang?"

"Iyalah."

"Kamu nggak mau ngajak aku ke rumah sakit?"

"Enggak."

"Ih!"

"Enggak, jangan ngebantah."

"Mau ke rumah sakit pokoknya, titik!"

Juna lagi-lagi menghembuskan napasnya kasar lalu ia mengacak rambutnya frustasi. Ia memang sudah berjanji kepada Alina kalau ia tidak akan membawa siapapun untuk menemui abangnya itu.

Ponsel Juna berdering.

"Dimana? Abang butuh lo."

Juna langsung mematikan ponselnya lalu ia memasukkannya ke dalam saku celananya dan dengan sangat amat terpaksa, Juna menarik tangan Delvi dengan pelan lalu ia mengajaknya berjalan ke arah motornya dan ia langsung memasangkan helm di kepala Delvi.

Kita memang enggak bisa sembunyiin ini semua, Al.

----- Behavior -----

Juna dan Delvi sampai di sebuah rumah sakit yang kemarin pagi didatangi oleh Juna juga. Terkadang, ia tidak suka berada di tempat seperti ini. Ia benci sekali dengan bau obat-obatan. Ia juga tidak suka dengan warna tempat ini yang didominasi dengan warna putih saja.

Juna benci rumah sakit. Tetapi, Delvi terlihat sangat khawatir dengan kondisi abang Alina, padahal Delvi belum tau siapa abang Alina. Aneh.

"Ayo, Juna! Kasihan Alina sudah nunggu lama!"

Delvi menarik-narik tangan Juna untuk berjalan lurus, namun Delvi salah jalan, ruangannya berada di lorong kiri, bukan di lorong tempatnya sekarang berada. Disaat sudah tepat di depan pintu ruangan itu, Juna menarik napasnya pelan lalu ia memegang knop pintu dan baru saja ia ingin membukanya. Suara Alina mencegahnya.

"Juna!"

Serempak, mereka berdua langsung menoleh ke arah Alina yang sudah berdiri tidak jauh dari mereka. Juna menghembuskan napas lega karena Alina berhasil menyelamatkan dirinya.

"Ikut aku sebentar," ucap Alina yang langsung menarik tangan Juna untuk mengikutinya meninggalkan Delvi sendirian.

Juna berjalan menjauhi Delvi. Sementara Delvi terlihat sedang mengamati sesosok orang yang sedang berada di dalam itu melalui celah korden yang kebetulan tidak ditutup terlalu rapat.

"Dia enggak bisa tau, Juna." Alina terlihat memegangi pelipisnya.

"Aku tau, Al. Tapi gimana? Dia juga tetep harus tau," sahut Juna yang membuat Alina menghembuskan napas pelan.

"Kondisi Abang lagi drop banget, dia masih belum sadar, Jun. Dia belum bisa tau soal ini," kata Alina berusaha mempertahankan pendapatnya.

Sementara Delvi hanya bisa menatap mereka berdua dari jauh, seolah yang mereka bicarakan itu adalah hal yang sangat penting. Terbukti ketika Alina benar-benar mengacak rambutnya dengan kasar.

"Dia baru bisa tau setelah semua ini beres, Jun. Setelah Abang sadar, setelah semuanya kelar. Dia baru bisa tau itu nanti, Jun."

"Terus gimana sekarang? Dia pasti bakal tau. Dia itu hebat, Al. Dia bisa tau kalau feeling dia emang udah bilang gitu, dia juga tau kapan aja kita sembunyiin sesuatu, Al."

Alina menghela napasnya sekali lagi. "Biarin dia tau dengan sendirinya, Jun. Tanpa harus kita kasih tau."

Juna akhirnya mengangguk mengiyakan. Lalu mereka kembali mendekati Delvi yang mungkin sudah terlalu lama menunggunya.

Sementara Delvi, ia masih memegang ponselnya takut-takut kalau Nilo memberinya pesan kalau ia sudah sampai lagi di Jakarta. Setelah kemarin Nilo mengirimkan pesan yang membuat hatinya berdesir, ia terus memikirkan Nilo sampai saat ini.

Delvi hanya takut, kalau Juna bergerak lebih cepat dibandingkan Nilo. Ia hanya takut kalau dirinya jatuh ke pilihan yang salah. Delvi menyayangi keduanya, perasaan yang berbeda itu selalu ia rasakan ketika bersama Nilo ataupun Juna. Delvi menyadari semua itu dan Delvi tidak bisa membohongi semua itu.

Delvi menyayangi mereka berdua lebih dari seorang sahabat.

Ada yang bilang kalau kamu mencintai dua orang, pilihlah orang kedua. Iya, bukan?

Tapi untuk saat ini, Delvi tidak ingin salah pilih. Delvi mendadak teringat dengan Nilo.

"Delvi, kalau nanti punya pacar, kenalin ke gue, ya?" ucap Nilo tiba-tiba ketika mereka berdua sedang berada di kelas, kira-kira saat itu adalah pelajaran matematika, tentang logaritma. Iya seingat Delvi begitu.

"Huh? Harus banget?" tanya Delvi membuat Nilo menjatuhkan pulpennya di atas meja yang menimbulkan suara yang langsung membuat Delvi menoleh.

"Harus banget," perintah Nilo.

"Kenapa, harus?" tanya Delvi yang kembali sibuk melanjutkan pekerjaannya itu.

"Karena gue, enggak mau kalau lo salah pilih orang untuk masa depan lo." Ucapan Nilo membuat Delvi menjadi menghetikan kegiatannya itu dan ia langsung menatap kedua mata sahabatnya itu lekat-lekat.

"Kenapa lo selalu ngingetin gue tentang hal yang kayak gitu, sih?" tanya Delvi lagi.

"Gue cuma nggak mau kalau nantinya, lo hidup sama orang yang nggak bener. Nanti masa depan lo enggak terjamin kalau gue belum tahu siapa yang lagi ngedeketin lo," sahut Nilo sembari menyentuh pundah Delvi.

"Nil, kadang gue mikir, ya. Lo itu cuma sahabat gue, kan?"

Nilo mengangguk.

"Tapi kenapa lo seolah bertingkah kalau lo itu punya hak lebih sama gue yang bisa ngatur-ngatur gue seenaknya aja?"

Delvi tersenyum geli ketika mengulang memori beberapa bulan lalu, sebelum Nilo bersama dengan Alina. Iya, sebelum semuanya berubah.

Dan baru saja Delvi ingin bangkit untuk melangkah pergi meninggalkan ruangan itu, salah satu dokter menghampirinya.

"Anda orang terdekat pasien? Kalau iya, ayo ikut saya," ajak dokter itu yang membuat Delvi mau tidak mau harus mengikutinya berjalan masuk ke dalam ruangan khusus dokter itu.

Juna yang melihat itu semua langsung menarik napasnya, lalu ia melirik ke sampingnya untuk melihat Alina yang sama pucatnya dengan dirinya.

"Dia akan tau, Al."

***

Nah, udah yak double partnya, buat yang waktu itu minta, udah Kei penuhinn❤️ tolong jangan teror Kei:) ya Tuhan berasa penjahat aja, tau nggak:(

Intinya, jangan lupa vote dan komentarnya....❤️

Selama dua hari ke depan, Kei usahain double part terus, oke?

Salam sayang, Kei.

Behavior [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang