1.2 || Teras

24.6K 1.8K 53
                                    


Dengan perlahan, Delvi menurunkan kedua tangannya dari wajahnya itu. Lalu Delvi terdiam untuk sesaat. Kenapa harus kalimat seperti itu lagi yang keluar dari mulut Nilo? Memangnya Nilo mau pergi? Kan tidak.

"Vi," panggil Nilo membuat Delvi tersadar dari lamunannya dan ia langsung menatap lelaki yang kini juga sedang menatapnya itu.

Delvi masih memandangi wajah Nilo untuk beberapa saat. Ternyata sahabatnya ini tidak banyak berubah. Ia masih tetap Nilo culun dengan kacamata yang selalu bertengger di wajahnya. Sejak kecil, Nilo memang sudah memakai kacamata. Dan setau Delvi, sampai detik ini, Nilo belum pernah membeli kacamata baru sejak ia memakainya dari umur enam tahun.

"Sayang," panggil Nilo sekali lagi. Dan entah atmosfer dari mana, Delvi langsung menghentikan lamunannya dan langsung memberikan tatapan tajamnya.

"Kan udah dibilangin. Jangan panggil-panggil sayang," sahut Delvi kesal dan Nilo hanya bisa terkekeh kecil melihat reaksi gadis di depannya ini.

Nilo yang awalnya masih terkekeh langsung diam ketika melihat reaksi gadis di depannya ini. Seperti ingin membunuh seseorang. Nilo lebih takut dengan tatapan Delvi dibandingkan harus dikejar satu warga perumahan ini.

Delvi sedikit menyunggingkan senyuman. "Kenapa lo selalu nanyain pertanyaan kayak gitu, Nil?"

Nilo yang sedari tadi menunduk, langsung mengangkat wajahnya dan memberikan senyum tipis. "Enggak kenapa. Cuma pingin tanya aja."

Delvi mengernyitkan dahi dan mengangkat kedua alisnya yang seolah bertanya kepada Nilo apakah memang benar yang dia ucapkan?

Kalau memang itu benar. Kenapa rasanya bagi Delvi, itu seolah menjadi pertanyaan kalau Nilo akan meninggalkannya. Tidak. Pokoknya itu tidak boleh terjadi dengan Delvi dan Nilo. Delvi tidak akan pernah meninggalkan Nilo. Iya, tidak akan.

"Lo tau ga. Lo nanya kayak gini itu, seolah kalau lo sendiri yang bakal ninggalin gue," kata Delvi dengan volume suara yang kecil dan melemah. Sangat jarang seorang Delvi seperti ini.

Nilo menggeleng pelan. "Enggak bakalan. Gue selalu di sini buat lo."

Delvi menghembuskan napas pelan lalu ia memberikan senyuman manisnya yang sangat jarang ia tunjukkan di depan Nilo. Delvi mendekatkan tangannya ke wajah Nilo lalu membenarkan kacamata Nilo yang sedikit turun itu.

"Kalau seandainya gue yang pergi, gimana?" tanya Delvi membuat Nilo langsung menangkup kedua pipinya dengan kencang.

"Tolong bilang kalau itu cuma bercanda, Vi." Delvi terkekeh kecil lalu ia melepaskan tangan Nilo yang berada di wajahnya itu dan ia langsung menyelipkan rambutnya yang jatuh itu ke belakang telinganya lalu ia tersenyum lagi.

"Seandainya, Nilo. Bukan berarti gue bakalan pergi," jawab Delvi yang mampu membuat Nilo kembali melebarkan senyumannya.

"Kalau lo pergi? Gue bakalan nungguin lo sampai lo balik lagi. Karena gimana pun, pada hakekatnya, kita pasti selalu bareng," ujar Nilo lalu Delvi langsung mengerjapkan matanya beberapa kali.

Kenapa tingkat kepedean Nilo itu selalu tinggi ya? Apa katanya tadi? Selalu bersama? Kenapa Nilo bisa bilang seperti itu ya? Mungkinkah Nilo seorang peramal? Ah enggak. Ga mungkin banget.

Delvi kembali menatap Nilo yang kini juga menatapnya. Nilo itu sebenarnya tampan. Ralat, sangat tampan. Tapi entah kenapa, sikap pecicilannya itu membuat Delvi terkadang sangat kesal dengan Nilo. Tapi, kalau kalian semua mendapat pacar seperti Nilo. Percaya deh, kalian akan merasa menjadi seperti seorang ratu. Percaya.

"Kok jadi pingin nangis si dengerin kata-kata lo yang kayak gitu?" tanya Delvi lalu Nilo mengangguk dan tangannya langsung bergerak untuk mengusap rambut Delvi.

Behavior [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang