Juna menghentikan motornya di sebuah tempat yang sangat sering dikunjunginya akhir-akhir ini dengan Alina.
"Al, kamu nggak capek ke sini terus?" tanya Juna yang masih sibuk melepaskan helmnya.
Alina menggeleng pelan. "Enggaklah! Kenapa aku harus capek, coba?"
Juna terkekeh kecil lalu ia hanya bisa mengangguk. Dan Juna mengikuti langkah Alina yang sebenarnya ia tidak tau kemana arahnya. Tolong jangan berpikir kalau Juna bermain wanita di belakang Delvi. Jangan berpikir seperti itu.
Juna hanya mengantar Alina sesuai dengan permintaannya. Katanya sih, temannya yang sakit itu yang memintanya.
"Hai, Abang!" seru Alina ketika ia sudah melihat sesosok orang yang dipanggilnya abang itu, membuat Juna tersenyum kecil.
Hanya ada suara mesin-mesin yang berbunyi yang terdengar di dalam sana. Alina menghela napas lalu menatap Juna. "Belum ada reaksinya, Jun."
"Sabar, semua butuh proses. Nanti, Abang kamu bakalan sadar, kok. Percaya deh," kata Juna meyakinkan untuk membuat Alina bisa lebih sabar.
Alina mendekati ranjang yang dipenuhi oleh alat-alat yang dipasang di tubuh abangnya itu. Sementara Juna, ia memilih untuk bersandar di tembok sebelah jendela yang ditutupi korden itu.
"Bang, jangan sakit-sakit terus, napa! Capek nih, aku harus bolak-balik ke sini terus setiap hari!" ucap Alina yang membuat Juna menoleh lalu menautkan kedua alisnya.
"Tadi bilangnya nggak capek, terus sekarang bilang capek. Mau kamu apa, sih?" tanya Juna dengan pelan yang membuat Alina tertawa senang. Ia senang menjahili Juna.
Juna tersenyum lagi ketika melihat Alina, cewek yang menurutnya sangat menderita ini. Sangat menderita karena bisa kenal dengan dirinya. Sungguh, harusnya Alina tidak usah kenal dengan Juna. Karena, Juna hanya bisa membawa sengsara yang berlebihan kepadanya.
Alina mengambil tangan kanan abangnya itu lalu digenggamnya dengan pelan dan ditempelkannya di pipi kiri Alina. "Abang, bangun dong! Katanya, Abang mau nembak cewek, masa nggak bangun-bangun, sih!"
Juna terkekeh kecil mendengar perkataan Alina tadi. "Dia nggak bakal denger, Al. Matanya aja masih ketutup gitu," Juna mendekati ranjang abang Alina itu lalu ia menepuk bahu Alina pelan "lagipula, lo masih punya banyak orang lain yang sayang sama lo. Kalau Abang lo memang udah ditakdirin buat kembali sama Tuhan, lo bisa apa?"
Alina menatap Juna dengan tajam. "Sekali lagi ngomong gitu, aku suruh kamu minggat dari sini!"
Juna terkekeh kecil, namun yang dikatakannya itu menurutnya adalah benar.
----- Behavior -----
Delvi masih menunggu di depan teras rumahnya. Katanya sih, hari ini, Juna ingin mengajaknya mengunjungi sebuah bukit yang kata dia, itu adalah bukit terindah yang pernah didatanginya. Entahlah, Delvi tidak tau.
Delvi membuang napasnya kasar. "Lagi sepuluh menit, kamu nggak datang. Aku bakal masuk ke rumah, dan ngambek."
Delvi langsung menaruh ponselnya di dalam tasnya dan ia menopang dagunya menggunakan kedua tangannya yang diletakkannnya di atas pahanya itu.
Tin..tin...
"Akhirnya, itu anak dateng juga, enggak sia-sia, gue pura-pura ngambek."
Delvi langsung memakai sepatu selopnya lalu ia berlarian keluar rumah dan langsung melebarkan senyumannya, dugaannya benar, kalau yang datang itu memang, Juna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behavior [Completed]
Jugendliteratur-SEQUEL OF IMPRESSED- "Kalau suatu saat nanti orang yang lo suka ninggalin lo dan pergi dari hidup lo. Lo harus balik lagi ke gue ya, Vi? Jangan beralih ke orang lain." Dia, Danilo Pratama. Pentolan SMA Bakti Cahaya yang terkenal karena pecicilan...