3.3 || Curiga

19.1K 1.5K 48
                                    



Delvi masih berpikir mengenai perkataan Alina tadi. Sungguh, itu hanyalah satu kata yang mampu membuat Delvi berpikir dua kali lebih keras. Akhir-akhir ini, Delvi juga sering melihat Juna dan Alina pergi berdua, entah untuk apa. Delvi tidak tau.

Tapi, itu membuat Delvi berpikir yang aneh-aneh tentang mereka. Delvi berpikir kalau mereka memiliki hubungan khusus yang Delvi sendiri tidak tau. Sekarang, Delvi dan Juna sudah pulang dari tempat makan itu, meninggalkan Alina sendirian karena Delvi yang memintanya.

Dan sekarang, mereka berdua sudah berada di teras rumah Delvi yang kebetulan saat itu hanya ada Bi Sani di rumahnya.

"Juna."

"Kenapa?"

"Tolong jujur."

"Soal apa?"

"Alina."

"Aku harus jujur soal, apa?"

Delvi terdiam ketika Juna menjawab pertanyaannya. Ia tidak ingin seperti mengekang Juna untuk berteman dengan perempuan tapi ia hanya ingin penjelasan, itu saja sudah cukup bagi Delvi untuk saat ini.

"Delvi. Saya sama Alina itu hanya teman saja, tidak lebih," ucap Juna membuat Delvi menoleh lalu mengangguk mengiyakan.

"Aku enggak cemburu ataupun marah, Jun. Aku hanya perlu penjelasan," jawab Delvi seperti ingin membongkar sesuatu yang teramat sangat ingin ia ketahui.

Ia merasa kalau ada yang disembunyikan dari Juna. Tidak! Ia tidak berpikir kalau Juna mennyembunyikan wanita di belakangnya! Sama sekali tidak! Lagipula, Delvi itu siapa? Hanya sebatas sahabat dekat Juna, bukan? Jadi tidak wajar kalau ia cemburu.

Tapi kali ini memang serius, Delvi merasa kalau Juna menyembunyikan sesuatu darinya. Sesuatu yang seharusnya Delvi ketahui.

"Penjelasan soal apa, Delvi?" tanya Juna lagi membuat Delvi ragu. Haruskah ia bertanya? Ia takut kalau nantinya, pertanyaan ini akan membuat Juna marah.

"Kenapa Alina panggil kamu, Abang? Kalian saudaraan?" kata Delvi yang membuat Juna langsung tertawa.

Dia bisa-bisanya tertawa disaat Delvi sangat kesal seperti ini. Oh god! Bisa-bisanya Juna tertawa. Ya, dan Delvi hanya bisa memasang wajah datarnya ketika mendengar tawa Juna yang sudah lima menit tidak ada hentinya sampai membuat Juna mengeluarkan air matanya, saking kerasnya ia tertawa.

Untungnya ini di rumah Delvi, bukan seperti dirinya yang waktu itu pergi bersama Nilo. Nilo? Delvi jadi merindukan dia, ah, lupakan!

"Kan tadi Alina udah bilang. Dia, panggil aku, Abang karena aku lebih tua beberapa bulan dari dia. Dan wajar aja sih," sahut Juna masih dengan sedikit tawanya.

Delvi memutar bola matanya malas. "Jadi kayak suami-istri, tau nggak."

Juna tersenyum miring lalu ia merentangkan kedua tangannya membuat Delvi mengangkat satu alisnya tanda bertanya. "Sini, peluk."

Mata Delvi langsung melotot, apa-apaan ini? Bisa-bisanya Juna berkata seperti itu. Namun, Juna tetaplah Juna, ia menarik pelan kepala Delvi supaya menempel di dada bidangnya, membuat Delvi merasakan kalau yang memeluknya ini adalah Nilo. Danilo Pratama.

"Enggak usah cemburu gitu, Delvi. Istri saya di masa depan itu cuma kamu, bukan yang lain."

Lagi-lagi Delvi menghelas napas kasar, ia benci kalau harus dikatakan cemburu, sungguh, Delvi tidak cemburu. Delvi hanya tidak suka, sudah itu saja.

"Siapa yang cemburu, sih? Enggak ada. Dan tolong ya, enggak usah terlalu percaya diri soal istri. Kalau bukan aku, istri di masa depan kamu, gimana? Nanti nyesel kalau berharap terlalu banyak."

Behavior [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang