2.3 || Belum Siap

18.1K 1.4K 42
                                    



"Kalau Alina punya Nilo. Kamu punya saya."

Delvi yang awalnya masih berusaha menghentikan tangisannya itu langsung menjadi terdiam. Kemudian ia langsung menatap Juna yang berada di depannya dengan matanya yang bengkak itu dan dengan posisi tangannya masih melingkar di pinggang Juna.

Juna tersenyum kemudian melepas tangan Delvi dari pinggangnya lalu memegang tangan kiri Delvi. "Saya. Saya yang akan berusaha menggantikan Nilo walaupun itu sebenarnya enggak bakal mungkin. Karena saya tau, Nilo enggak akan bisa diganti sama siapapun. Saya sadar akan itu."

Sekali lagi, cairan-cairan bening itu keluar dari kedua mata Delvi. Ia kembali teringat masa-masa bersama dengan Nilo. Ia masih belum sanggup harus ditinggal oleh sahabatnya itu. Iya, memang itu hak Nilo kalau ingin punya pacar, tapi, Delvi hanya belum terbiasa.

Karena dari dulu, Nilo selalu tidak pernah serius mendekati perempuan dan tiba-tiba saja Delvi mendapatkan berita seperti ini. Wajar bukan, kalau Delvi merasa belum siap?

"Juna, terimakasih," kata Delvi dengan suaranya yang bergetar itu membuat Juna mengangguk lalu ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sapu tangannya itu.

Tangannya bergerak untuk mengusap sisa-sisa cairan bening yang ada di wajah Delvi itu. "Berhenti nangis, Delvi. Muka kamu sudah jelek, nanti kalau nangis, malah tambah jelek," ucapnya sembari mengusap sisa-sisa cairan itu dengan lembut menggunakan sapu tangannya.

Delvi langsung menatap Juna tajam dan beberapa saat kemudian ia terkekeh pelan. "Iyain aja biar cepet."

Juna mengangguk sembari tersenyum tipis yang membuat Delvi juga ikut-ikutan tersenyum.

"Juna!" panggil Delvi membuat Juna menaikkan kedua alisnya tanda bertanya. Sementara tangan Delvi bergerak untuk menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya.

"Kalau gue ngomong pakai aku-kamu, gapapa kan? Biar lebih sopan aja," tanya Delvi yang membuat Juna menghentikan aktivitasnya mengelap wajah Delvi itu lalu ia terkekeh kecil.

"Kenapa harus tanya saya? Itu terserah kamu," Juna mencolek hidung Delvi membuat Delvi menyipitkan matanya merasa kegelian. "kamu yang punya hak untuk berbicara, bukan saya," lanjutnya.

Delvi mengangguk. "Oke, kalau gitu sekarang harus jadi lebih sopan."

"He he he, iya," sahut Juna dengan ketawanya yang garing itu membuat Delvi mencubit pelan tangan Juna.

"Garing!" seru Delvi sambil tertawa.

Sesaat kemudian, ia terdiam lagi. Ia menjadi rindu dengan Nilo. Rindu dengan kalimat-kalimat receh Nilo yang dulu selalu ia abaikan, ia rindu itu. Ia rindu ketika Nilo memanggilnya dengan sebutan 'sayang'. Mungkin panggilan itu sudah menjadi hak Alina.

Juna melambaikan tangannya di depan wajah Delvi membuat Delvi kembali tersadar dari lamunannya itu. "Maaf, aku tadi cuma kepikiran Nilo. Kira-kira dia lagi ngapain, ya?"

"Kamu mau cari dia? Saya temani!" seru Juna membuat Delvi menggeleng pelan lalu ia kembali tersenyum.

"Aku enggak mau ganggu Nilo sama Alina. Nanti dipikirnya, aku jadi perusak hubungan orang," sahut Delvi membuat Juna terkekeh pelan.

"Tapi saya tau, kalau kamu rindu sama dia," tebak Juna yang langsung membuat Delvi mengangguk. Eh tapi, kenapa Juna bisa tau, ya?

Delvi kembali membayangkan betapa tidak enaknya kalau ia sekarang harus melakukan apa-apa itu sendirian. Karena biasanya, Nilo selalu ada untuk membantu Delvi. Nilo sudah ada di depan rumah Delvi sebelum Delvi terbangun dan mereka baru berpisah ketika Delvi sudah tertidur pulas.

Behavior [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang