New York
Seorang pria keturunan Asia tenggara berjalan membelah keramaian trotoar 59th street. Tujuannya tinggal satu blok lagi. Puncak gedung apartemennya sudah terlihat menantang di kejauhan. Lelah badannya seketika menguap di antara jejalan manusia yang turut menjejakan kaki di jalanan khusus orang ini. Semua problematika kerja yang penat dan memuakan dikunci dalam brangkas rahasia di kepalanya. Tidak ada yang perlu tahu betapa sulitnya dia mengikuti ritme kerja kota ini dan bagaimana dia bertahan di posisinya. Tidak satu orang pun perlu tahu, cukup dirinya. Yang dia butuhkan adalah kehidupan finansial mapan bagi anggota keluarganya, si cantik mungil yang menantikan kepulangannya.Sekuriti gedung menyapa saat dia masuk ke dalam lobi. Dia balas tidak kalah sopan tanpa meninggalkan kesan santai dan bersahabat. Walau dirinya terdaftar sebagai salah satu penghuni flat di sini, bukan berarti dia menjadi sosok angkuh yang memandang rendah pekerja di sini. Bagaimanapun dia tahu bagaimana siklus kehidupan, ketika Tuhan berkehendak membalik roda kehidupan maka berubahlah. Si kaya sewaktu-waktu bisa menjadi si miskin. Si bodoh bisa jadi si pintar. Dan bersama bisa menjadi sendiri. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan.
Lift berhenti di lantai dua puluh. Begitu pintu terbuka, segera dia berlari menuju flat apartemennya. Malam ini dia pulang terlambat, pikirannya melayang membayangkan omelan apa yang akan dilayangkan adik perempuannya kali ini.
"Bisa pulang lebih malam lagi, Din?" Baru saja pria itu memikirkan dumelan adiknya, satu kalimat ironi sudah menyambutnya di depan pintu flat.
"Sorry. Kerjaan teman harus gue cover." Pria bernama Dinan itu melangkah santai melewati adik perempuannya yang sudah pasang wajah kesal.
"Gue mestinya liburan di flat lo. Tapi gue malah stuck jagain bayi gendut lo di sini," omel Ana, adik perempuan Dinan.
"Secara kebetulan bayi gendut gue adalah keponakan lo, An. Please jaga bahasa lo. Gue nggak akan buat lo stuck di flat seandainya Lizzy masuk kerja. Lo dengar sendiri Lizzy sakit and she needs bedrest for a week." Perdebatan dengan Ana selalu menjemukan bagi Dinan. Mempunyai satu adik perempuan serasa mengasuh selusin ducklings yang terus bekoar.
"Eugh, gue capek. Mau tidur. Awas kalo tengah malam lo ganggu gue pake suara rengekan bayi lo." Ana menghentak kakinya menyalurkan emosinya yang sudah dia timbun selama mengasuh keponakan perempuannya. "Mending lo balik ke Jakarta. Makin lama lo di sini, makin susah Kimmy belajar bahasa Indonesia."
Ana pergi tanpa memberi kesempatan Dinan membalas perkataannya. Yang dibutuhkan gadis yang sedang menikmati libur kuliahnya itu hanya bantal, selimut, dan kasur yang empuk. Mengasuh anak bukan hanya bermodalkan kasih sayang. Ya, Ana sayang keponakannya namun mengasuh seorang anak membutuhkan lebih dari kasih sayang. Karena kadang kasih sayang bisa menjerumuskan anak menjadi karakter keras kepala dan manja. Ana yang tidak sabaran sadar jika dirinya belum pantas membesarkan seorang anak kecil dengan emosinya yang masih labil.
Dinan hanya bisa menghela napas memandangi punggung adiknya yang menjauh ke dalam kamar tamu. Pikirannya sejenak melayang pada omongan ketus Ana. Dia butuh kembali ke Jakarta untuk membiasakan anaknya bahasa dan budaya negara mereka. Alasan personal paling utama tidak lain dia merindukan keluarganya. Satu suara bantingan pintu kamar Ana mengembalikan kesadaran Dinan. Dia bergegas menuju kamarnya yang merupakan kamar anaknya juga.
Bayi kecilnya tertidur pulas. Jejak airmata masih jelas di pipi gemuk kemerahan bayinya, Kimmy. Entah apa yang sudah terjadi hingga anaknya yang jarang menangis mengeluarkan airmata. Dia hanya berharap apapun yang menyebabkan puteri kecilnya menangis adalah demi kebaikannya pula.
"Selamat tidur, my sunshine. Mimpi yang indah," bisik Dinan sambil membelai sayang kepala puterinya. Lalu mengecup pipi gemuk Kimmy.
Sudah menjadi hal yang lumrah dia pulang di saat Kimmy sudah tertidur. Kadang dia berusaha menyelesaikan pekerjaannya lebih awal agar mendapat kesempatan meninabobokan bayinya. Sayangnya, hanya beberapa kali dia memperoleh kesempatan itu.
Matanya beralih pada jendela kamar yang belum ditutup tirai. Langit gelap di bulan Juni tanpa bintang mengingatkannya pada kenangan semasa dia masih menempati kamar lantai dua di rumah orangtuanya di Jakarta.
Apa masih ada kesempatan gue kembali menempati kamar itu? Suara hatinya.
***
Papa. Seumur hidup, momen ketika bayinya bisa menyebut kata itu tidak akan bisa dilupakan Dinan. Anak lain mungkin mengucapkan kata 'mama' sebagai kata pertama yang dilafalkan dengan baik. Tapi bayinya, sejak lahir memiliki kisah berbeda. Perbedaan yang dijamin Dinan dengan nyawanya, tidak akan menjadi alasan bayinya kurang bahagia dibanding anak-anak dalam susunan keluarga normal.
Lahir dan besar di Amerika, Kimmy tidak banyak menemukan perbedaan atas dirinya. Tetangganya hanya punya mommy. Dia punya papa. Ada adik bayi yang berjalan di taman bersama mum dan dad. Kimmy belum paham situasinya, lingkungannya juga terbatas dinding apartemen. Dunia luar dilihatnya saat Lizzy mengajaknya ke central park dan supermarket. Atau saat ini, di depan televisi. Menikmati tontonan kartun Disney tsumtsum yang dipilihkan Ana. Kimmy diam menyaksikan ditemani semangkok cornflakes.
"Ma, aku capek ngomong sama Dinan. Kepala batu banget." Kimmy menoleh pada Ana yang sedang sibuk dengan ponsel di telinganya.
Kepalanya disandarkan pada lengan sofa, dia memfokuskan diri pada aktivitas Ana. Orang dewasa selalu keren. Mata bulat hitamnya mengikuti gerak Ana yang mondar-mandir mengoceh.
"Mama harusnya ke sini. Lihat sendiri gimana Dinan ngasuh Kimmy. Totally horrible!"
Badan Kimmy menegak, merasa namanya disebut selain itu dia sangat tertarik menyimak ocehan tantenya yang suka mengomel. Secara kebetulan, Ana bersitatap dengan Kimmy. Dalam satu tarikan napas, Ana membanting pintu kamarnya. Suara benturan daun pintu dan kusen menyebabkan Kimmy melonjak kaget.
"Ana siapa calling?" Kimmy turun dari sofa. Kakinya yang mungil dan montok berjalan jinjit mendekati kamar Ana. Tidak berapa lama, niatannya batal. Matanya menemukan hal yang lebih menarik di atas meja sebelah pintu kamar Ana.
Tidak perlu usaha keras, Kimmy menjangkau sisi atas meja. Tangannya meraup benda yang menarik perhatiannya. Segera dia lari ke pintu dimana cermin besar terpasang pada dinding.
"See, I look cool!" Kata Kimmy kembali memoles lipgloss yang dia temukan dan memamerkan senyumannya di depan cermin.
###
19/11/2017 (first published)
31/12/2017Hadiah taun baru 🎆🎆🎆
Bukan something new sih huwahahaha..TAPII ada tambahannya dong 😋 ini kan bonus akhir taun para kimdut skuad
FOLLOW IG MISSBEBEKLUCU
KAMU SEDANG MEMBACA
A Note of Kim
General FictionRATE +5 Tokoh utamanya bayi gendut. Jangan baca kalo gak mau obesitas!! Dinan kembali pulang ke Jakarta setelah sembilan tahun bertahan di NY. Bersama balita gemuknya, duda muda ini berharap dapat memperbaiki hubungan dengan orangtuanya yang sempat...