"Walaupun kata benci dan penyesalan karena melahirkan aku keluar dari mulutnya, ia tetap menjadi seorang ibu yang hebat bagiku karena telah melahirkan diriku hingga bisa melihat bagaimana kejamnya dunia ini"
***
Metta membuka pintu rumahnya dengan santai walau sekarang sudah pukul 03:30, ia tak mempedulikan jika nanti ada mamanya atau papanya yang akan marah-marah padanya. Tiba-tiba saja lampu di ruang tamu menyala hingga menampakkan Mira―mamanya sedang berdiri di dekat saklar lampu dengan menatap dirinya tajam.
"Dari mana lagi kamu?"
Metta tak mempedulikan pertanyaan mamanya, ia bahkan melewati mamanya yang kini sudah meradang akibat marah pada dirinya.
"Mau jadi apa kamu kalau kayak gini terus?"
"Jadi manusialah, emang mau jadi apa lagi?" ucap Metta―santai―balas bertanya pada Mira.
Mira menggeram kesal. "Sampai kapan kamu berhenti mabuk-mabukan? Hah...?"
"Sampai ada kebahagiaan datang sama aku," sahut Metta cuek.
"Kebahagiaan itu gak datang dengan sendirinya sama kamu tapi kebahagiaan itu dicari, Metta." Balasan Mira membuat Metta mendesis. Benarkah kebahagiaan itu dicari? Lalu kenapa kebahagiaan yang ia cari sama sekali tidak pernah datang? Kenapa malah kesengsaraan yang datang?.
"Oh ya?" Tanya Metta seakan tidak percaya dengan ucapan mamanya.
Mira tambah meradang, ia mendekati Metta dengan menatap Metta tajam.
Plakk...
Tak disangka tangannya mendarat tepat di pipi kiri Metta.
"Kamu tahu Mama menyesal melahirkan anak seperti kamu"
Bagai disambar petir Metta tak percaya mamanya mengatakan yang tidak seharusnya disampaikan seorang ibu pada anaknya sekali pun ia benci pada anaknya. Metta memegang pipinya yang tadi ditampar mamanya, menatap mamanya tak percaya. Benarkah ini mamanya, seorang yang telah melahirkannya? Seorang yang selalu membelanya kala ia dimarahi oleh papanya? Benarkah?.
Metta mundur perlahan demi perlahan seraya menggelengkan kepalanya pelan menghilangkan pikiran negatifnya tentang mamanya hingga punggungnya membentur pintu, kemudian ia berbalik badan membuka pintu rumahnya meninggalkan mamanya yang sedari tadi hanya bergeming di tempat setelah menampar Metta dan mengatakan sesuatu yang menyakitkan hati Metta. Benarkah tadi itu dirinya yang mengatakan sesuatu yang menyakitkan hati Metta?.
Metta pergi meninggalkan rumah, tanpa membawa motor dari hasil kerjanya sendiri, tanpa membawa mobil pemberian papanya yang ia bawa hanyalah tas selempang miliknya yang berisikan ponsel dan juga dua rekening yang salah satunya adalah tabungannya dari hasilnya bekerja sebagai DJ di club dan satunya lagi adalah rekening pemberian Mama Papanya yang tak pernah ia pakai uangnnya selama ini.
Tak sadar ternyata ia sudah sangat jauh meninggalkan rumah. Metta menghentikan langkah kakinya ketika matanya menangkap halte. Ia melangkahkan kakinya ke halte tersebut, untuk beristirahat sejenak sebelum ia melanjutkan perjalanannya entah kemana. Baru beberapa menit Metta duduk, suara seseorang yang sudah sangat familiar di telinganya dan juga panggilan khas padanya terdengar.
"Fatimah?!"
Metta terlonjak kaget, ia menoleh menatap pada Ali yang di sana sedang turun dari mobilnya.
"Kamu ngapain di sini?"
Metta bangkit dari duduknya, tanpa disangka-sangka ia langsung memeluk Ali erat sambil sesegukan, membuat Ali terlonjak kaget dan mengucapkan istighfar karena hampir jatuh akibat Metta yang memeluknya tiba-tiba. Ali tertegun merasakan jantungnya yang berdegup tak karuan, tubuhnya pun menegang karena ini kali pertamanya ia dipeluk oleh seorang wanita yang bukan mahramnya, tangannya hanya menggantung tanpa membalas pelukan Metta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Dirindu Surga [REVISI]✔️
SpiritualAmetta Stephani nama lengkapnya, ia suka keluar malam, suka berDJ dan suka meminum-minuman keras, bukan karena ada masalah, ia hanya ingin mencari kesenangan selagi kedua orang tuanya bekerja. Menurutnya, anak kedua orang tuanya adalah uang. Tanpa d...