After Marriage (Ali & Metta) 1

6.5K 108 2
                                    

Metta membuka matanya saat merasa kalau sinar mentari pagi menyilaukan matanya.

"Assalamualaikum bidadariku," sapa Ali seraya tersenyum manis pada Metta.

"Waalaikumsalam," balas Metta.

Gadis itu kembali memejamkan matanya tapi tak lama dari itu, ia langsung melebarkan matanya saat tahu kalau matahari telah terbit dan ia langsung saja bangkit dari berbaringnya. Namun, kepalanya pusing, membuat Metta harus kembali berbaring untuk sedikit menetralkan pusing di kepalanya.

"Kenapa?" Tanya Ali dengan nada khawatir.

"Makanya jangan langsung bangun," imbuh Ali saat sadar kalau Metta pusing akibat bangun secara tiba-tiba.

Pria itu mengusap kepala Metta lembut, ia juga menatap Metta dengan tatapan khawatir miliknya.

"Jam berapa?" Tanya Metta.

"Udah jam setengah sebelas," jawab Ali.

"Hah? Ih, Mas, udah jam segitu kenapa gak bangunin aku," rengek Metta.

Gadis itu kesal karena ia melewatkan shalat subuh dan dhuha. Tanpa sadar ia sudah menangis pelan, Metta bahkan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Lho, kok nangis?"

Ali pun menarik istrinya ke dalam pelukannya, mencoba menenangkan istrinya dengan cara mengelus rambut halus Metta walau itu tidak berhasil.

"Aku jadi gak shalat subuh sama dhuha, Mas," ungkap Metta.

Sudah sekitar empat bulan mereka menikah, Metta memutuskan memanggil Ali 'Mas' walau suaminya tidak mempermasalahkan panggilan yang cocok untuknya. Metta hanya merasa sangat tidak pantas memanggil suami dengan panggilan nama saja, ia merasa kalau itu sama sekali tidak sopan.

"Maafin, Mas, kamu kan semalam habis shalat tahajud pasti kecapean, jadinya Mas gak bangunin," jelas Ali.

Hal itu mampu membuat Metta berhenti menangis dan pipi gadis itu memanas serta memerah karena malu. Ah, Metta jadi teringat dengan kejadian semalam, di mana dia dan suaminya saling berbagi kehangatan di atas ranjang agar memperoleh anak-anak yang shalih dan shalihah.

Sadar kalau istrinya berhenti menangis, Ali mengernyit heran.

"Udah berhenti?"

Metta memukul dada Ali pelan dengan manja.

"Kok dipukul, dosa tahu."

"Maaf. Ih, lagian, Mas, kenapa bahas yang semalam sih?"

Ali terkekeh geli, lalu berkata, "Kan emang kenyataannya gitu, Mas gak bangunin kamu karena Mas tahu kamu capek."

"Aku jadinya gak masak, lho, Mas."

Ali melepaskan pelukan keduanya, ia merangkum wajah Metta dan menatap Metta lembut dan mendamba.

"Mas udah masak buat kamu," kata Ali sambil tersenyum.

Metta membalas senyum sang suami. Ketika wajah Ali mendekat dengan mata terpejam, Metta pun ikut memejamkan matanya, tapi keduanya harus mengurungkan niat untuk saling memberikan kehangatan kala mendengar suara dari luar, suara Saif yang berteriak memanggil Abi dan Uminya.

"Abi Umi, di dalam ngapain?"

Keduanya terkekeh geli. Ali pun menjawab, "Tunggu bentar."

Ali pun menggendong Metta bagaikan menggendong koala, membawa Metta masuk ke dalam kamar mandi.

"Mandi ya, Sayang? Mas siapin bajunya."

Metta menganggukkan kepalanya dan sebelum keluar dari kamar mandi, Ali mengecup bibir sang istri.

"Aku berharap, semoga kita bisa menghadapi ujian di rumah tangga kita, Mas," gumam Metta dan memulai ritual membersihkan badannya.

***

Metta menyantap makanan yang dimasak suaminya dengan lahap. Gadis itu kelaparan karena bangun siang dan baru makan ketika waktu zuhur menjelang. Di balik cadarnya, dia tersenyum manis melihat Ali dan Saif yang tengah bercanda di ruang tengah, sesekali suara tawa mereka terdengar oleh Metta yang tengah makan di dapur.

Setelah empat bulan menikah, keduanya memutuskan untuk tinggal sendiri di rumah yang memang sudah disiapkan Ali, katanya rumah ini dulu rumah Ali dan Putri saat menikah. Ali awalnya ingin membangun rumah yang baru dan rumah ini akan dijual, tapi Metta menolak, ia ingin tinggal di sini.

"Umi... Abi jail," adu Saif.

Metta yang memang sudah selesai makan membersihkan sisa makannya, mencuci piring setelahnya menghampiri dua pria yang tengah asyik bercanda itu.

"Abi emang kayak gitu," kata Metta.

Sebelum mereka menikah dan saat awal-awal berkenalan dulu, Ali sama sekali tidak terlihat kalau dia jail, tapi saat dia sudah menikah dengan Metta, Metta dapat melihat sifat Ali yang sesungguhnya, penyayang, perhatian, peduli, dan jail. Metta bersyukur karena ia berjodoh dengan Ali, kejadian yang dulu ternyata bumbu penyedap di hidup keduanya sebelum bersatu dalam ikatan pernikahan.

Metta tak pernah melepas cadarnya di hadapan Saif, Ali melarangnya apalagi kalau mengingat Saif bukan anak kandung keduanya. Metta menarik Saif untuk duduk di tengah-tengah antara ia dan Ali, umur Saif sudah hampir delapan tahun tetapi keduanya masih belum bisa mengatakan pada Saif kalau keduanya bukan orang tua kandung Saif. Namun, suatu saat keduanya akan berkata jujur pada Saif.

"Saif janji, lho, sama Umi kemarin."

Saif yang ada di tengah-tengah mereka mengernyit heran. Sepertinya dia melupakan janjinya pada uminya.

"Saif, kalau udah janji harus ditepati," tegur Ali.

"Saif lupa," ungkap anak itu penuh penyesalan. Ia menundukkan kepalanya, tidak mau melihat abunya yang marah karena Saif sangat jarang melihat abinya marah.

Metta tersenyum, ia mengharapkan tubuh Saif hingga menghadap dengannya, kemudian merangkum wajah Saif lalu mengecup kening Saif. Bagi Metta, ini adalah kesempatan dia untuk mengecup kening Saif, karena jika Saif sudah baligh, dia sudah tidak bisa menyentuh Saif atau bahkan memeluk anak ini.

"Janji apa kemarin sama Umi?" Tanya Metta.

Saif tak langsung menjawab, ia tampak berpikir sejenak.

"Setor hafalan sama Umi," jawab Saif kala ia sudah ingat apa janjinya pada Metta.

"Pintar anak Umi."

"Anak Abi juga dong, Mi."

"Ya udah, Saif mau ke kamar dulu, mau hafal ulang takut lupa, boleh kan, Umi?"

Di balik cadarnya, Metta tersenyum kemudian dia menganggukkan kepalanya lalu berkata, "Boleh."

Setelahnya, Saif berlalu dari kedua insan itu. Ketika Saif sudah benar-benar masuk di kamarnya, Ali menarik Metta hingga kepala Metta bersandar di pundaknya.

"Mas," panggil Metta.

"Hmm?"

"Bukannya dulu waktu Mas menikah sama Putri tinggalnya di Surakarta yah?"

Ali mengecup kening Metta, kemudian menjawab pertanyaan Metta, "Awalnya gitu, tapi pas sebulan nikah Putri minta pindah. Jadi Mas bangun rumah di sini."

"Rumah ini dibangun untuk Putri?" Tak bisa dipungkiri, sebenarnya Metta cemburu pada Putri padahal Putri sudah tak ada.

"Kenapa? Kamu mau dibangunkan rumah juga?"

"Tidak, aku cemburu," ungkap Metta terang-terangan.

"Kamu cemburu berarti itu tanda kalau kamu cinta sama Mas, kan?"

Metta menganggukkan kepalanya, ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan kebahagiaannya saat ini, yang jelas gadis itu sangat bahagia. Ia tak tahu, masalah apa yang akan menanti rumah tangga mereka, Metta berharap semoga saja mereka bisa melaluinya bersama.

Bidadari Dirindu Surga [REVISI]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang