“Fitnah memang lebih kejam daripada pembunuhan.”
***Bagas memasuki ruang kerja papinya tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu ataupun mengucapkan salam, bahkan pintu itu ia buka secara kasar di saat sang ayah sedang sibuk dengan laptop dan kertas-kertas di atas meja kerjanya. Ia menatap sengit ke arah papinya, sementara papinya tampak santai saja tanpa merasa terganggu dengan tatapan sengit dan kedatangan anaknya di ruangannya. Mungkin karena ini adalah hal lazim yang sering dilakukan Bagas.
“Kalau kamu kemari mau minta uang sama Papi, nanti Papi kirim ke kamu. Maafkan Papi, kemarin Papi lupa kirim ke ka…-“
“Bukan itu!” tukas Bagas dingin.
“Lalu apa?”
“Kenapa Papi keluarkan Metta dari kampus?”
“Ah, gadis itu, gadis yang telah membuat nama kampus Papi jelek. Sudah seharusnya ‘kan Papi mengeluarkannya dari kampus?.”
“Itu tidak benar, Pi. Itu semua fitnah, Metta tidak pernah melakukan hal keji seperti itu, apalagi dia sangat menjaga kehormatannya,” kata Bagas membela Metta.
“Tahu apa kamu tentang masa lalu gadis itu? Ingat Bagas sebelum kamu pindah di kampus Papi, Papi sudah lebih dulu mengenal gadis itu, bahkan gadis itu dulu hampir Papi keluarkan dari kampus,” balas Denis—Papi Bagas.
Bagas benci ini. Benci ketika ia tak bisa melawan perkataan papinya yang ada benarnya, ditambah lagi ia mengenal Metta belum terlalu lama. Tapi, ingatannya kembali ke Metta, kembali ke masa di mana Metta menangis akibat fitnah yang tak berujung ini. Bahkan saat Metta sudah dikeluarkan dari kampus pun fitnah itu masih tetap berlanjut.
Tanpa mau membalas perkataan papinya lagi, Bagas berlalu,meninggalkan papinya yang terlihat santai saja.
Denis tahu jika anaknya menyukai gadis yang disebut anaknya. Terlihat dari sikapnya yang marah saat ia mengeluarkan gadis itu dari kampus. Denis hanya menggelengkan kepalanya pelan.
***
Bagas mengendarakan motornya dengan ugal-ugalan, tak tahu apa yang harus ia lakukan agar Metta bisa kembali ke kampus. Ia merasa bersalah pada Metta karena tak bisa membantu gadis itu, papinya pun juga malah mengeluarkan Metta dari kampus dan itu membuat rasa bersalahnya semakin bertambah.
Ingin ke rumah Metta, tapi ia sama sekali tak tahu alamat rumah Metta. Mencari Metta, tapi kemana?. Metta tiba-tiba menghilang begitu saja. Dan juga, ia sama sekali tak memiliki nomor telepon Metta. Sangat tak mungkin jika ia meminta nomor telepon Metta pada Ali yang sedang kecewa pada Metta dan juga ia tak suka dengan Ali.
Tak butuh waktu lama, sekitar tiga puluh menit, Bagas telah sampai di parkiran kampus. Diparkirkannya motor sport birunya di parkiran kampus, ia berjalan dengan tergesa-gesa, mencari seseorang yang ada dipikirannya. Saat matanya menangkap objek yang sedari tadi dicarinya.
“Ali!” serunya.
Ali menoleh ke belakang, mendapatkan Bagas berjalan mendekati dirinya. Ia mengernyitkan dahinya, mengingat-ingat siapa pria yang sedang memanggilnya itu. Namun, tak lama pikirannya ingat siapa pria itu. Pria yang dekat dengan Metta benar beberapa hari ini, pria yang dikabarkan juga sudah pernah berzina dengan Metta.
Sesampainya di hadapan Ali, tanpa berpikir panjang Bagas langsung memukul rahang Ali dengan bogeman miliknya. Rahangnya mengeras menandakan jika ia saat ini sedang marah pada pria yang sedang ia pukul saat ini. Ali yang tak tahu apa-apa tak membalas, tapi ia malah menyeka darah yang keluar dari sobekan di sudut bibirnya akibat pukulan dari Bagas. Ditatapan Bagas tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Dirindu Surga [REVISI]✔️
ДуховныеAmetta Stephani nama lengkapnya, ia suka keluar malam, suka berDJ dan suka meminum-minuman keras, bukan karena ada masalah, ia hanya ingin mencari kesenangan selagi kedua orang tuanya bekerja. Menurutnya, anak kedua orang tuanya adalah uang. Tanpa d...