Senyum Dipipi

203 11 0
                                    

Pada sunyi malam, sering aku bisikan sepi pada pengkonveksi kopi. Aku ceritakan semua tentang "kamu" yang kerap hadir pada puncak imaji namun tak kunjung ku sapa dengan jemari. Kamu yang kerap hadir layaknya parasit, selalu menyempit dalam ruang kosongku kala sendiri dan kian membelit arah anganku yang tak pasti.

Sakit, batinku menjerit, tapi segera sadarku mengertak. Apa yang engkau ratapi ? Siapa yang engkau maki ? Bukankah itu kemaun diri yang terlalu mendramatisi senyum dipipi ? Lantas mengapa kau berlarut dalam pedih ?
Pertempuran hati dan isi kian menjadi dan porak-porandakan murninya nurani.
Kamu adalah sosok yang hebat, bagaimana tidak ? Kamu yang belum aku miliki, bahkan tak sempat aku sapa lewat laju perkembangan teknologi apalagi dengan sorot mataku yang berapi, mampu masuk kedalam imajinasiku dan berbuat onar didalamnya. Mencuri sedemikian waktuku hanya untuk sekedar membentuk ragamu, lewat jauhnya batasan yang telah aku tempuh. Kadang terwujud senyum yang syahdu juga sering berbentuk bayang-bayang semu.

Pernah terbesit sepenggal sajak para penginspirasi, bahwa;"Cinta sejati tak harus memiliki". Tapi andai kata suatu hari aku sampaikan segenap isi hati, maukah kau terima aku dengan segenap hati ? Karena satu hal yang aku yakini;Senyum dipipimu saat jumpa pertama kali, menyimpan banyak arti.

A14

CELOTEH HANGAT KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang