4

16 4 0
                                    

Malam itu Rein tengah menulis surat balasan untuk sahabat korespondensinya, Sendi di selembar kertas folio bergaris, ketika tiba-tiba telinga nya menangkap namanya di sebutkan oleh  penyiar radio rock favoritnya.

"Lagu ini di minta oleh Rajendra, kirim-kirim spesial untuk Reinaka, Voodoo band salam untuk dia dari ketinggian 104,4 FM"

Rein terperanggah, tersenyum dan mulai mendengarkan salah satu lagu favoritnya itu.  Terbayang di matanya, Jed mengantri di telpon umum dekat kantin Mas Nano hanya untuk meminta lagu ke radio yang nomornya kadang susah dimasuki.   Dan karena susah masuk  itu maka ia selalu mengandalkan senjata pamungkasnya yaitu tombol redial, memangkas waktu beberapa detik untuk berlomba dengan telpon masuk lainnya. Rein lumayan sering menelpon radio kesayangannya itu untuk sekedar meminta diputarkan lagu yang iseng ia kirimkan kepada teman-temannya.

Baginya radio adalah teman kedua setelah teman teman riil nya. Tidak hanya mendengarkan, ia kerap merekam lagu-lagu yang ia suka.  Ia pun sering berpesan kepada sang operator telpon di ujung sana untuk tidak menyunat lagu yang di mintanya, maklum ada beberapa penyiar radio yang seringkali menyunat lagu sesuka hatinya.

Usai Voodoo menyelesaikan lagu yang sangat ia hayati isinya, Rein langsung berjingkat jingkat menuju meja telepon di ruangan keluarga, tengok kiri kanan, untuk memastikan keadaan aman. Hukum Qisas dong pikirnya, hutang lagu bayar lagu. Ah sepi, kesempatan begitu batin nya. Sejarah telpon di rumahnya belum lah sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, keluarganya  baru saja memasang saluran telpon beberapa tahun yang lalu. Suatu ketika tagihan telpon mendadak membuat Ibu nya terperangah, komat kamit melihat angka yang tertera di  rekening tagihan berwarna biru muda itu.

Di kolom SLJJ terlihat ada barisan angka, kolom itu biasanya sepi tanpa pengunjung, tapi kini ada yang berani berani nya berdiam diri di sana.

"Reeeiiinnn." Ibu nya berteriak dengan lantang bak suara muazin dari mesjid sebelah.

Rein merasa jantungnya akan copot. Bulan kemarin ia memang sempat interlokalan dengan Umam untuk sekedar ngobrol dan  titip oleh-oleh dari kampung halaman cowok ceking itu ketika mudik liburan semester.

Rein tergopoh-gopoh menghampiri Ibu nya yang kini sedang berkacak pinggang sambil memelorotkan kacamata plusnya siap menginterogasi anak gadisnya.

"Ini perbuatan kamu ya?" Ibunya mengibas-ngibaskan kertas tagihan  itu tepat di wajahnya.

"Ih siapa juga, kakak mungkin atau malah Ibu yang pakai buat telpon ke kampung." Tuduh Rein sambil nyengir tanpa dosa.

"Cengengesan, sejak kapan di kampung Ibu ada saluran telpon, listrik aja masih pake diesel, lagian kemarin Ibu habis kirim surat ke sana, ini tuh pasti kerjaan kamu kan, hayooo ngaku."

"Ya sekali sih, tapi malem kok jam 11 an, kan tarif nya murah."

"Iya murah kalau sebentar, kamu kan kalau ngomong berbusa. Pokoknya Ibu gak mau tahu, uang jajan kamu Ibu diskon setengahnya mulai besok."

"Nanti aku gimana dong gak bisa makan, kelaparan. Masa Ibu tega sih kalo aku merana karena kelaparan kayak orang orang di Ethiopia sana."

"Ya pikir aja sendiri, paling nanti Ibu yang nyanyiin lagu We are the world nya bareng Michael Jackson." Ibu nya bergumam lirih menyenandungkan reff lagu itu sambil berlalu ke dapur.

Rein langsung balik badan sambil cemberut.

Nah, itu adalah kejadian bulan lalu, masih terasa perihnya, karena Rein harus berhemat. Kini ia telah berhadapan dengan telpon berwarna abu-abu itu, melirik lagi ke kiri dan ke kanan, lalu meneliti benda itu dengan penasaran.

"Kebetulan belum di kunci." Gumamnya sambil tersenyum.

Lalu ia memutar nomor telpon radio tersebut.

Janji Cinta Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang