31

6 3 0
                                    

Suasana kampus sore itu sepi. Rein sibuk dengan pikirannya sementara Winda yang sedang mengemudikan Starlet coklatnya bercerita panjang pendek tanpa jeda. Rein kadang hanya mengangguk dan menggeleng.  Baru kemarin Shia menghiba di hadapannya untuk tidak pergi darinya. Pemuda itu meminta maaf kepadanya atas apa yang telah ia lakukan kepadanya beberapa hari yang lalu. Karena melihat Shia yang terlihat bersungguh-sungguh, Rein pun akhirnya memaafkannya.

Tapi terkadang kebenaran datang walaupun tidak di minta, dan kebenaran tentang Shia pun kini tercetak jelas di wajah Winda.    Rein tidak tahu apa yang akan dilakukannya, perasaannya tidak menentu, kepalanya berkedut, perutnya mulas, jantungnya berdegub kencang.  Rein frustasi.

"Win, Shia ada disana." Rein menunjuk ruangan yang terbuka pintunya, ia melihat Indra tengah mengerjakan sesuatu di terasnya.

"Kamu tanya orang itu aja, yang pakai kemeja kotak biru ya." Rein mengurungkan niatnya untuk menemui Shia, ia merasa belum siap untuk menerima semuanya.

"Kamu mau kemana, temenin aku dong."

"Aku ada perlu," jawab Rein pendek.

"Sebentar aja, please." Winda memegang erat lengan Rein.

Rein gamang, kakinya seakan di pasangi  bola besi berantai seperti yang biasa menggelayuti kaki The Daltons bersaudara di penjara federal. Namun demi melihat wajah memelas Winda, ia menyerah.

"Ndra, Shia ada ?" Suara Rein parau.

"Ada, di dalam sama Nissa."  Indra mengarahkan telunjuknya  ke dalam ruangan himpunannya.

"Shiiii, dicari Rein." Indra berteriak nyaring.

Dengan cepat Shia keluar dari ruangan. Senyum yang tersungging di bibirnya mendadak menghilang ketika ia melihat sosok yang tengah berdiri di samping Rein.

"Aku pergi dulu ya," bisik Rein kepada Winda.

Tapi Winda masih memegangi lengan Rein dengan erat, memaksanya untuk tinggal.

"Nah kamu sudah ketemu Shia kan Win, aku pulang dulu ya."

"Eh bareng aja, kamu kan ke sini sama aku, masa pulang sendirian."

"Gak usah, aku ada perlu, mau telpon dulu." Rein melepaskan pegangan tangan Winda dengan paksa.  Shia terlihat sangat kikuk. Rein menatap tajam mata pucat Shia, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Rein." Shia memanggilnya dengan suara tertahan.

Rein menoleh kebelakang. Tersenyum kecil kepada Shia dan meneruskan langkahnya.

Tergesa ia menyelinap diantara tembok gedung kuliahnya dan memperhatikan Shia dan Winda yang kini terlibat percakapan yang tidak biasa.  Rein menatap Starlet coklat yang di tumpangi oleh Winda dan Shia sampai menghilang di tikungan. Ia mencoba menenangkan hatinya dengan menatap langit yang dipenuhi cahaya jingga namun lagaknya itu semua sia-sia.

*

Rein membuka pintu kamar Umam, melemparkan tas tote blacunya lalu berdiam di pojokkan.  Tempat Umam adalah satu satunya pilihan untuk menambatkan jangkar.  Lea tengah mengunjungi neneknya di Lembang, sedangkan Mayang tengah menemani si Abang latihan band, dan Rein tidak mau menganggu tidur siang Redi.

Umam yang tengah asik dengan game Championship Manager-nya itu menoleh seketika sambil melancarkan pertanyaan.

"Dari mana?"

"Kampus"

"Ngapain? Tadi kan pulang bareng."

"Ada perlu."

"Sudah makan? Wajah kamu mengerikan gitu sih, kayak zombie tahu gak?!"

"Belum, males."

"Maag kamu nanti kambuh lagi."

"Gak apa apa."

"Heuh dasar Bruce Willis."

"Apa?"

"Die hard."

"Biarin."

Umam mematikan komputernya yang nge-hang dengan tak sabar, lalu menyalakannya kembali.  Tak lama terdengarlah musik pembuka dari film serial X Files keluar dari dua speaker aktifnya yang berwarna broken white.  Lalu Wajah dua agen FBI nan kondang, Dana Scully dan Fox Mulder pun muncul di layar monitornya beserta huruf X berukuran besar.

Rein masih saja duduk mematung  sementara Umam memasukkan CD game Winning Eleven ke dalam CD ROM komputernya dengan hati-hati.

"Sakit?"  Umam kembali bertanya.

"Pusing."

"Makan dulu, nih ada kue kiriman mimih, kebetulan tadi adek datang." Umam menyodorkan sebongkah bolu Matsuba.  Bolu 8 jamnya orang Palembang yang manisnya tak terkira itu ternyata terasa pahit di lidahnya.

"Kenapa sih sering pusing?" Umam penasaran.

Rein memejamkan matanya. "Gak tahu pokoknya tiba-tiba sakit banget."

"Nih minum, obat sisa aku kemaren."

Umam melemparkan sebentuk obat warung.  Rein bergeming.

"Mam, kamu pernah merasa sakit hati gak, sakit banget sampe hati kamu terasa diiris sembilu?"

"Kenapa  mendadak sentimentil gitu?"

Rein mendengus. "Maaam .."

"Kamu nanya serius? kamu kan gak pernah serius."

Rein terdiam.

"Rein... Rein, kamu nanya ke orang yang salah, aku gak tahu gimana rasanya diiris sembilu."

"Kalau di iris katana?"

"Haduh dilindes kali katana mah, kamu tidur aja deh, dari  pada ngelantur gitu." Umam melemparkan selimutnya lalu meninggalkan Rein dalam kesunyian kamar yang beraroma tak jelas itu.  Rein terdiam,  di kamar Umam yang tidak wangi ini, ia sedikit merasa tenang. Rein menarik selimut Umam dan pelan tapi pasti ia pun tertidur melupakan sejenak rasa sakit yang melanda kepala dan pikirannya.

***
Tbc

Janji Cinta Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang