Lea memandangi wajah kaku Rein ketika mereka melihat Shia dan Jed yang tengah duduk menikmati gelas kopi masing masing di kantin jurusan mereka siang itu.
“Kamu gak samperin cowok baru kamu?” Goda Lea sambil tersenyum.
Rein menggeleng, matanya masih tertuju pada baris baris kalimat di novel yang bertokoh utama Hercule Poirot dan Kapten Arthur Hastings itu, walaupun sebenarnya pikirannya entah pergi kemana.
“Kenapa? Karena orang di sebelah nya?”
Rein menggeleng lagi.
“Kamu serius jadian sama Shia gak sih?”
Rein mengangguk.
“Tapi wajah kamu gak kayak orang yang lagi jatuh cinta.”
“Memangnya gimana wajah orang yang lagi jatuh cinta?” Rein mengerutkan dahinya.
“Ya kayak wajah kamu pas lagi deket sama Jed dulu, berseri seri.” Lea berbisik lembut.
“Jangan sebut dia lagi lah, aku gak suka.” Rein terdengar ketus.
Lea terdiam, memandang ke belakang dinding kaca kembali, masih terlihat Jed dan Shia bercakap cakap di sana.
“Kamu jadian sama Shia, bukan cuma buat balas dendam kan?” selidik Lea.
“Balas dendam ke siapa?” tanya balik Rein dengan suara datar ia menutup novel nya, meletakkan kepalanya diantara dua lututnya.
“Balas dendam ke Jed?”
Tiba tiba jantung Rein seakan berhenti berdetak. “Buat apa?”
“Buat sikap permusuhannya yang sangat tiba tiba.”
Mendengar kalimat itu, hati Rein seakan tertohok.“Ngarang, ya gak lah.”
“Lantas?” pancing Lea.
“Ya gak ada lantas.” jawab Rein datar.
“Kamu mau jadian sama Shia karena dia adalah teman Jed kan? Kamu ingin ngebuktiin bahwa apa yang pernah Jed tuduhkan ke kamu itu salah dengan jadian sama Shia, iya kan?”
Rein merasa di tikam oleh kata kata Lea. “Ini semua hanya kebetulan Ya, kebetulan aja Shia teman nya Jed, kebetulan aku kenal sama dia, dan kebetulan dia baik.”
“Oh, kebetulan ya? Kebetulan juga kalau kamu sedang mencari pelarian?” Tuduh Lea sadis.
“Ih kenapa sih kamu? Aku suka sama dia.” Rein berkata lirih.
“Suka doang kan? Cinta?”
“Apa aku perlu jawab itu? Ini tes wawancara apaan sih?”
“Aku cuma heran aja, kalau dilihat dari tipe, Shia itu bukan tipe kamu banget.”
“Tahu apa kamu sama tipe ku?”
“Tahu banyak.”
Rein terdiam, Lea adalah salah satu sahabatnya yang dipertemukan dari awal pendaftaran ulang dahulu. Lea tahu semuanya tentang Rein, begitu pula Rein tahu semua cerita tentang Lea.
“Aku berubah.” sahut Rein.
“Kalau perubahannnya untuk kebaikan sih, gak masalah. Aku harap apa yang kamu omongin tadi benar.”
“Aku merasa aman bila berjalan dengan dia, Shia baik dan penuh perhatian.”
“Hmmm … tapi hati kamu bukan untuk dia, iya kan? Kamu belum sepenuhnya melepaskan seseorang yang sangat kamu inginkan untuk berada di sisi kamu dan berharap ia melakukan hal hal yang Shia lakukan kepada kamu seperti sekarang ini kan?”
“Jed sebenarnya telah membuat hati kamu sakit, tapi rasa suka memang kejam, semua bisa di tolerir. Di sisi lain kamu ingin melepaskan semua itu tapi kamu berdalih semua harus bertahap. Kamu berharap waktu akan menyembuhkan luka lama kamu. But trust me Rein, kalau kamu terus berkompromi dengan waktu, maka waktu gak bakalan bisa menyembuhkan kamu. Kamu harus cepat, lupakan Jed, ia masa lalu kamu. Shia adalah masa depan kamu, kamu telah memilih, life is about choice.” Lea berkata berapi-api bagaikan berpidato di depan khalayak ramai.
***
Hampir sebulan ini, Shia selalu menemui Rein, entah itu di kantin, di perpustakaan atau di kantor pos, dan ia mulai terbiasa dengan kehadiran Shia. Kegundahan hatinya seakan terobati dengan kehadiran Shia. Rein masih ingat bagaimana Shia menggandeng tangannya dan dengan gaya yang sangat elegan meminta diri pada Mahendra untuk tidak menemui Rein lagi. Emosi nya terlihat sangat matang dan sempurna. Sampai suatu hari, disaat Shia sedang mengantarnya pulang, kalimat itu pun keluar.
“Rein aku suka sama kamu, kamu mau kan menerimaku?” Shia bertanya dengan raut wajah yang serius.
Rein terpana dengan kata kata Shia. Wajah temaram senja yang mulai menyapa mereka seakan memberi waktu untuk menjawab pertanyaan dari Shia.
“Aku senang bisa dekat dengan kamu, aku ingin kamu jadi bagian dari hidupku, kamu mau kan?”
Shia baik bahkan sangat baik, Rein gamang, ia bertanya tanya pada dirinya sendiri, apakah ini yang ia inginkan? Mempunyai teman dekat seperti Shia? Apakah Shia orang yang tepat, orang yang dikirimkan Tuhan untuk mengobati kegelisahan hatinya, orang yang memberitahu pungguk agar berhenti merindukan bulan, karena bulan yang selalu ia rindukan entah mengorbit di mana?.
Lalu ia teringat dengan apa yang pernah Jojo katakan.
“Mulailah memikirkan orang yang juga memikirkan kamu. Kamu harus bergerak maju, melihat kebelakang dan bertahan hanya akan membuat kamu lelah, lelah mempertahankan benteng yang benteng itu sendiri tidak pernah melindungi kamu.”
Mungkin Jed hanyalah cinta bertepuk sebelah tangannya, Jed hanyalah bagian dari sebuah cerita yang ia sendiri tidak ada di dalamnya.
Jed adalah kenangan yang harus ia tinggalkan dengan segera. Ia harus menimbun kenangan itu dalam dalam dan membiarkannya membusuk lalu menutupnya rapat-rapat agar bau nya tak lagi menguar sampai ke permukaan. Ia harus berdamai dengan hatinya, bahkan mungkin dengan semuanya.
Dan saat ini adalah saat yang tepat, dimana ia akan melangkah ke depan tanpa menoleh kembali ke belakang,
Frente!
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Cinta Kala Senja
Teen FictionKisah Cinta ala anak kuliyahan Yang Rumit Antara Rein Dan Jed Mereka Mempunyai Perasaan Yang Sama Namun Mengapa Rein suatu saat Selalu Menghindari Jad ? Mampukah Mereka Bersatu Dan Saling Berjanji Untuk Melewati Senja-Senja Berikutnya Dengan Romant...