Ending

46 5 0
                                    

Jed tidak habis pikir dengan tingkah laku Rein selama beberapa minggu ini. Sikap gadis itu mendadak berubah kepadanya. Tidak ada senyuman hangat dan lambaian penuh semangat.

Bila ia bertemu dengannya secara tidak sengaja di jalanan kampus, Rein bergaya layaknya striker sepakbola, menghindar ke kanan dan ke kiri lapangan diantara gerombolan teman-temannya. Bila Jed mencarinya di perpustakaan mendadak Rein bak di telan rak-rak buku yang tingginya mengawang atau langsung keluar ruangan. Lain halnya bila Jed menemuinya di kantin ketika jam istirahat, Rein dengan sigap memindahkan piringnya ke meja temannya, dan mulai bergerombol asik di sana.

Dan semua tingkah laku Rein itu tak ayal membuat Jed merasa kesal. Baru beberapa minggu yang lalu Jed merasa senang karena Rein ikut merayakan hari jadinya, tapi kini semua hal yang kerap Rein lakukan bila bertemu dirinya telah hilang menguap tak berbekas walau setitik saja. Jed gusar bukan alang kepalang.

Tapi hari ini, ia merasa lega. Setelah memperhatikan Rein bak seorang sniper dari dalam ruangan kuliahnya, tanpa aba aba ia pun melesat ibarat anak panah Robin Hood menuju ke tempat favorit gadis itu yaitu kantor pos.

Sesampainya disana, matanya mencari sosok gadis yang telah membuat hari-harinya terasa tak menentu, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Tatapannya menyapu ke segala arah dan akhirnya ia menangkap sosok berkemeja flanel itu tengah berjalan sendirian di selasar belakang kantin lalu memotong ke jalan utama kampus. Jed berlari mengejar gadis yang terlihat berjalan tergesa-gesa itu.

"Rein kamu menghindari aku ya?" Jed berjalan mengikuti Rein.

Rein terkejut dan menengok ke belakang ada wajah Jed di sana dengan nafas yang terengah-engah.

"Ah enggak cuma perasaan kamu aja kali." Rein menjawab santai namun jantungnya berdebar tak normal.

"Perasaaan aku kata kamu? Ini bukan cuma perasaan tapi nyata di depan mata." Jed setengah berteriak.

Rein terus melangkah di jalanan beraspal terjal yang sepi, sesekali kakinya menendangi kerikil kecil yang merintangi jalannya. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha untuk menekan perasaannya yang tak menentu.

"Iya, aku sama sekali gak menghindari kamu, buktinya aku sekarang mau ngobrol sama kamu."

"Yang kayak gini kamu namain ngobrol, bahkan bertatap muka aja enggak, menatap punggung iya." Jed setengah berteriak.

Rein terus berjalan, kini langkah mereka mulai mendekati pintu gerbang belakang kampus.

"Rein ada apa sih dengan kamu?" Nada suara Jed terdengar mulai letih.

"Gak ada apa-apa." Rein mulai melangkahkan kaki kanannya ke pintu angkot.

Sebelum kaki kirinya ikut melangkah, tangan Jed lebih dulu meraih lengan Rein dan memaksanya untuk turun dari angkot. Jed menyeret Rein untuk berjalan dengannya. Rein mendengus.

"Aku heran sama kamu, jelas-jelas ada apa-apa masih aja bilang gak ada apa-apa. Kamu menghindari aku kan, setiap kita bertemu kamu pasti balik badan. Aku masuk ke perpustakaan kamu malah keluar. Aku datang ke kantin jurusan kamu malah blingsatan. Aku tunggu di Kantin satunya kamu malah pulang. Kalau yang punya hati sedingin es itu pasti gak kerasa tapi hatiku ini hangat suam-suam kuku jadi aku merasakan ini semua sebagai perasaan yang sangat menggangu." Jed terdengar kesal.

"Lantas mau kamu apa?" Rein mencuri pandang ke arah wajah Jed yang kini terlihat gusar.

"Mau aku ..." Jed berhenti bicara dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Tuh kan gak tahu." Rein memotong sambil melirik Jed menang.

Dia selalu terlihat menawan, walaupun tengah menggaruk kepalanya.

Janji Cinta Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang