26

5 3 0
                                    

Rein menatap pantulan wajahnya di cermin yang tergantung di dinding kamar  Lea yang dipenuhi aroma cologne favorit sahabatnya itu. Wajahnya terlihat segar oleh sapuan tipis bedak tabur yang baru saja Lea usapkan dengan kuas bedak yang berukuran lumayan besar.  Rambutnya yang biasanya acak-acakan kini tertata rapi dengan hiasan sebuah bando hitam bertahtakan bintang-bintang kecil di tengah lengkungannya.

Pandangan Rein meluncur ke bawah, dress bunga-bunga berwarna pink lembut berhias renda kecil yang sangat feminim di bagian leher dan ujung bawah rok melengkapi penampilannya malam ini.  Beberapa menit lalu Rein dan Lea sempat beradu argumen tentang dress berwarna pink itu.

"Pink? kamu gak punya warna lain lagi apa selain pink?"  Rein sewot.

"Gak punya sayang, pink ini bagus, sesuai kok sama kulit kamu, coba dulu deh." Lea mencoba untuk bersabar.

"Ogah, aku mau warna hitam." Seumur-umur ia tak pernah memakai baju berwarna pink, koleksi bajunya kalau tidak hitam, biru, hijau atau putih.  Pink ? gak ada tempat untuk warna pink di lemari pakaiannya.

"Ini kawinan non, bukan pemakaman, tinggalin dulu deh warna punk kamu ganti sama pink, kan cuma beda huruf vokal doang." Lea terlihat jengkel.

"Cuma beda huruf vokal ya? yang kawin kan yang ngundang, yang diundang bebas dong pake warna apa aja, lagian aku bukan anak punk." Rein manyun.

"Iya terserah kamu aja deh, tapi aku gak punya warna hitam, titik."

"Aku ke kosan Mayang aja." Rein beranjak dari duduknya.

"Mayang mana punya dress, nurut aja deh, cepetan, nanti telat." Lea menunjuk jam dinding Mickey Mouse di kamarnya dengan kuas bedak besarnya.

Rein mengerutkan dahinya, menimbang-nimbang sambil membolak-balik dress berwarna lembut itu.

"Mmmh, well oke, tapi inget jangan ngetawain ya."

"GR, siapa juga yang bakal ngetawain kamu. Kamu itu bakal cantik pakai baju ini." Lea ngoceh panjang lebar.

"Tapi kan ini yukensi Ya, nanti nasib ketek aku gimana?" Rein memonyongkan bibirnya.

"Haduuh protes melulu nih anak, pakai ini luarnya." Lea mengacungkan sebentuk cardigan berwarna putih dengan model rajutan yang sederhana tapi indah.

Rein kini kembali menekuri pantulan wajahnya di cermin sementara Lea sudah bersiap dengan senjata pamungkasnya, sebuah lipstik berwarna pink.

"Haih aku gak mau pakai  itu." Rein terlonjak dari duduknya.

"Sssttt diem, tipis kok, biar mecing sama bajunya."

"Ogah." Rein menghindar dari serbuan tangan Lea yang mulai membabi buta.

"Mau warna hitam juga?" Lea mulai kesal.

Rein menyeringai.

"Ya sudah, ini aja coklat ya, tipis doang biar bibir kamu yang hitam ala pecandu rokok itu gak kelihatan." Lea mulai sarkastis.

"Huah, sirik."

"Bukan sirik, mau di bikin cantik malah ngatain sirik," tandas Lea.

"Nah, sempurna, see? You look beautiful, Shia bakal terkaget-kaget."  Lea mencubit pipi Rein.

"Makanya jangan, nanti dia kena serangan jantung." Rein cemberut.

Rein kembali memandangi wajahnya, ia seakan tak percaya, wajah yang ada di cermin itu adalah wajah miliknya. Lea memang penata rias yang handal.  Ibunya adalah pemilik salon yang cukup terkenal di daerahnya.  Tidaklah heran bakat dalam hal rias merias menurun ke anak perempuan satu-satunya.

"Nih sepatunya."

"Tinggi banget hak nya, ogah ah, ntar gak bisa jalan lagi, belum lecet, betis pegel."

Lea memutar matanya keatas kebawah. "Kan sesuai motto, beauty is pain."

"Ogah, sakit mah sakit aja gak usah pake alesan cantik segala."

"Kalau gitu yang ini aja." Lea mengacungkan sepatu flat  berwarna putih.

"Nah yang itu baru pas." Rein menghampiri Lea.

"Tapi ini kan kawinan Rein, pesta, kayaknya cocok pakai yang tinggi deh."

"Ah ogah tinggi, bukan Rein banget."

Lea memonyongkan mulutnya.

Rein kembali duduk di depan cermin, pikirannya melayang ke kejadian kemarin sore ketika Shia memintanya untuk menemaninya pergi ke undangan pernikahan teman sejurusannya, Tantri.

Rein menolak habis habisan, segunung alasan dia sampaikan, dari yang masuk akal, yaitu   tugas  kuliah yang menumpuk sampai yang tak masuk akal dan membuat Shia terbelalak yaitu mau pergi refresing ke kebun binatang.  Rein paling tidak suka bila harus pergi ke segala jenis undangan apapun, karena ia tidak pernah tahu harus memakai kostum apa. Koleksi bajunya satu pun tak ada yang berversi undangan. Tapi Shia mematahkan semua alasannya.  Dan itu lah yang membuat Rein sekarang berada di kamar Lea dengan dandanan yang sangat perempuan, yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Heh, ngelamun, tuh Shia ada di luar, bentar lagi juga naik." Lea membuyarkan lamunan nya.

Rein melongokkan kepalanya ke bawah dari teras kamar Lea.  Seperti biasa, Shia terlihat rapi, kemeja kremyang ia pakai sangat cocok dengan celana jeans warna khakinya.  Wajahnya terlihat segar.  Rein mengikuti langkah Shia sampai menghilang di balik tangga. Tak lama ada ketukan halus di pintu kamar Lea,  sahabatnya itu langsung membukakan pintu berwarna coklat, tersembul wajah Shia disana tersenyum lembut.

"Sudah?" tanya Shia.

"Yup, masuk Shi."

"Aku tunggu di sini aja." Shia nyengir sambil menunjuk ke arah kakinya.

Rein terlihat canggung dengan dandanan barunya itu sementara Lea mengalungkan sebuah tas sling secara menyilang dibahu gadis yang kini berdiri kaku.

"Oke, done, resmi tapi kasual." Lea tersenyum puas.

Rein berjingkat menuju pintu kamar Lea.  Shia sedang menatap ke bawah tangga ketika Rein menyapanya.

"Yuk," ajak Rein

Shia memutar, menatap Rein seakan tak percaya, dia tersenyum.  Rein menyembunyikan wajahnya dengan tas kecil Lea.  Shia menggeser tas itu, sejenak terjadi saling tarik tas antara mereka.

"Rein ... kamuuu."

"Cantik, iya kan Shi?" Celetuk Lea sambil membetulkan letak tas sling yang di kenakan Rein.

"Yap," seru Shia senang.

Rein tersenyum. Shia tak berkata apa-apa lagi sambil tak henti-hentinya menatap wajahnya. Rein menjadi sangat canggung.

"Lea, makasih ya." Shia melambai kepada Lea.

"Sama sama, hati hati ya, have fun guys!" Lea berteriak sambil tersenyum puas.

Shia menggandeng tangan Rein menuju ke arah kendaraannya yang terparkir di jalan raya tidak jauh dari tempat kos Lea.

***

Tbc

Janji Cinta Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang