10

9 1 0
                                    

Jed bangkit dari tidurnya,menghampiri dua kura kura hijau yang tengah mengambang diam di fishballnya.  Ia memberi mereka beberapa butir pelet sebagai menu makan malam.  Jed membeli kura kura kecil itu ketika ia secara tidak sengaja melewati sebuah Pet Shop di sebuah areal perbelanjaan. Sambil memandangi dua kura kuranya yang tengah mengambang, pikirannya melayang ke kejadian tadi siang, ia melihat Shia bercakap cakap dengan Rein di pinggir lapangan bakset.  Jed gusar dan bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa Rein dan Shia akhir akhir ini selalu terlihat di matanya secara tak sengaja, seakan akan kehadiran mereka secara terus menerus mengolok ngolok perasaannya yang ia sendiri  susah mendefinisikannya.

Tatapan Jed kini kembali ke arah dua kura kura kecilnya itu. Ia masih ingat benar bagaimana mimik wajah Rein ketika ia melihat dua kura kuranya yang tengah berenang kian kemari lalu menyodorkan satu pertanyaan yang membuat mereka tertawa pada akhirnya.

“Kenapa kamu namain dua mahluk ini Kuya dan Cody, ada filosopi nya kah?” Rein menengok ke dalam fishball yang diletakkan di atas meja belajar Jed.

“Pengen aja sih.” Jed meletakkan dua botol  teh yang merk nya cukup melegenda  di meja belajarnya.

“Hmm, kenapa gak Leonardo, Michael Angelo, Donatello atau Raphael aja, nama kura kura yang sudah terbukti kekerenan nya?”

“Wah Kura Kura Ninja dong, nanti aku musti beli dua lagi ditambah satu tikus putih buat aku namain Splinter.” Jed tersenyum.

“Iya benar juga, coba ku tebak, kalau Kuya pasti diambil dari bahasa Sunda untuk kura kura. Iya kan?”

“Sok tahu.”

“Habis apa?”

“Itu tuh aku ambil dari logat anak kecil yang nyebutin R jadi Y.”

“Oh, kalau Cody ?”

“William F. Cody lah.”

“Young Riders?”

“Iya betul.”

“Ah nyontek nih, dia kan karakter favorit aku.”

“Ye enak aja nyontek, memangnya waktu aku namain nih kura kura aku sudah kenal dengan kamu, belum lah. Nah kalo gitu kita memang jodoh.”

“Jodoh di tangan Tuhan!”  Rein berseru lalu menghirup teh botol nya melalui sedotan yang langsung menyegarkan tenggorokannya yang kering dengan seketika.

“Kalau di tangan dukun?”

“Itu mah pelet, nih kayak ini.” Rein mengacungkan bungkus makanan kura kura ke depan hidung  Jed dengan lucu. Lalu mereka pun tergelak.

Jed tersenyum mengingat percakapannya dengan Rein beberapa waktu yang lalu itu.  Ia  menghela nafas nya panjang, jam dinding di tembok kamar nya telah menunjuk ke angka 7. Ia beranjak menuju kantin mas Nano. Disana ia mendapati Hendra tengah menikmati kopinya, Jed menghampiri kakak angkatannya itu, dan duduk dalam diam.

Belum lima menit, matanya menangkap sosok Rein memasuki kantin bercat hijau itu. Di belakang Rein terlihat dua orang cowok, yang satu berdandan bak preman yang tengah dipusingkan dengan setoran, dan yang satu lagi terlihat berwajah pintar dengan kacamata yang lumayan tebal nangkring di hidungnya yang ditumbuhi satu jerawat merah super besar siap meletus kapan saja.

Tatapan mereka sekilas bertemu, ingin sekali Jed menyunggingkan senyum padanya, tapi bibirnya terasa kaku. Rein pun sama sekali tidak memberinya pandangan ramah. Jed melihat ada api amarah di mata Rein saat itu. Jed mengalihkan pandangannya cepat, tapi sesekali ia melirik gadis yang tengah bersenda gurau dengan teman temannya.  Ternyata memang susah melupakannya, kenangannya dengan gadis itu.  Tapi semuanya telah berakhir dan harus berakhir, ini semua karena Rein sendiri.

Janji Cinta Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang