Rein berjalan tergesa, kantor pos tujuannya sebentar lagi akan tutup. Selembar surat titipan ibu untuk pamannya di kampung halaman harus terkirim hari ini juga. Terbayang di matanya wajah seram ibunya apabila surat yang katanya penting itu tidak terkirim.
Namun langkahnya melambat ketika ia melihat dua orang yang tengah bersenda gurau di anak tangga gedung kantor pos tujuannya. Rein memalingkan wajahnya segera begitu satu dari dua orang yang berada di anak tangga itu menatap ke arahnya.
Beberapa hari ini, Rein sering sekali melihat mereka berdua di mana-mana. Dan itu membuat perasaannya tiba-tiba menjadi gundah gulana. Ia tahu, ia tidak berhak untuk merasa tidak nyaman namun ia tidak mampu mengatasi hal itu. Ia merasa ada rasa kecewa yang menyelubungi hatinya. Setelah urusan kantor posnya selesai, Rein bergegas pergi dari tempat itu melalui jalan belakang untuk menghindari pemandangan yang membuat hatinya sedikit perih. Ia berjalan pelan menyusuri selasar yang sunyi menuju gerbang belakang kampus. Namun kesunyian rupanya tak mau menemaninya lagi, karena tiba tiba ada sebuah suara nyaring yang menyergap telinganya.
“Hei Rein.”
Gadis yang membiarkan salah satu tali sneakersnya terurai itu terlonjak. Seorang pemuda yang ia kenal kini telah menjajari langkahnya.
“Jadi gimana?” Pemuda berkaca mata itu bertanya dengan tiba-tiba.
“Gimana apanya?” Rein mengerutkan dahinya.
“Kita?”
Rein menghentikan langkahnya. Beberapa bulan yang lalu jauh sebelum ia berkenalan dengan Jed, Mahendra pernah mengutarakan isi hatinya. Mahendra adalah teman satu kelompoknya ketika ia mengikuti semacam pendidikan dan latihan kedisiplinan dan bela negara yang wajib di ikuti oleh semua mahasiswa tahun pertama.
Pelatihan yang di adaptasi secara militer berlangsung selama dua minggu di sebuah komplek ketentaraan itu meninggalkan suatu jejak yang sangat mengganggu di hati Rein tentang pemuda itu. Mahendra adalah satu dari banyak teman baru beda jurusan yang ia kenal di ajang itu. Ia anak yang baik, tapi kadang membuat Rein merasa risi, karena ia selalu ada dimana pun Rein berada. Lea bahkan menjulukinya Maherazzi alih alih Paparazzi
Lamunan Rein buyar tiba tiba ketika Mahendra kembali bertanya kepadanya.
“Iya, aku sama kamu?” Raut wajah pemuda berkacamata itu terlihat berharap.
“Aku kan sudah bilang kalau kita tuh lebih baik berteman aja.”
“Gak bisa gitu dong.” Protes pemuda berkemeja rapi itu.
“Loh gak bisa gimana?”
Tanya Rein sambil terus melangkahkan kakinya.
“Kita tuh gak bisa cuma berteman aja, aku tuh suka sama kamu.” Mahendra berbicara dengan lantang mengusik kesunyian suasana selasar yang mereka lewati.
Ini sudah kali ke dua dia nembak, masih punya cadangan amunisi rupanya.
Rein membisu sambil meneruskan perjalanannya kembali.
“Ini semua gara gara kamu kenal sama si Jed itu kan? hah?”
Rein terkejut dan spontan menghentikan langkah nya, ia berdiri kaku menanti perkataan Mahendra selanjutnya.
“Aku lihat kamu jalan sama dia, aku tahu kalau kamu menghindari aku karena dia, iya kan?”
Rein masih terdiam mematung.
“Kamu tahu Rein, kamu sudah bikin hati ku sakit, menolak aku karena kemunculan dia.”
Rein naik pitam. “Dengar Ma, aku gak bisa sama kamu bukan karena apa dan siapa, ini semua karena aku cuma ingin berteman dengan kamu. Kamu baik tapi aku gak bisa ngikutin apa yang kamu mau.“
“Kalau kamu gak bisa sama aku, maka orang lain pun gak bakalan bisa dekat dengan kamu, dan kamu telah merasakan itu sendiri kan, dia jauhi kamu kan?” Mahendra tersenyum sinis.
Rein menghembuskan nafasnya panjang, ternyata ini semua berawal dari Mahendra, ia benar benar tidak pernah menyangka sebelumnya. Mahendra adalah kunci semua pertanyaannya.
“Jadi kamu yang ..?”
“Iya, tapi itu semua karena perbuatan kamu sendiri,” potong Mahendra galak.
“Kamu fitnah aku?”
“Kamu harus merasakan apa yang aku rasakan, sebuah penolakan. Sakit kan?” Kata kata Mahendra terdengar tajam.
Rein berusaha keras meredam perasaan marahnya, ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan pelan.
“Maafkan aku Ma, aku sama sekali tidak mempunyai perasaan yang sama dengan kamu.”
“Kamu bisa belajar menyukai aku Rein, yang penting kamu mau menerima ku dulu.”
“Aku bukan lah orang yang tepat untuk kamu Ma, kamu berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku. Yang tidak akan membuat kamu merasa marah dan akhirnya bersusah payah mengarang sebuah cerita fitnah.”
“Aku gak peduli Rein, hanya kamu yang aku mau.” Mahendra mulai merancau.
“Kita punya jalan yang berbeda Ma, selamat tinggal.” Rein bergegas meninggalkan Mahendra yang masih mematung. Rein melangkah dengan tenang sambil memeluk tas tote blacunya dengan erat. Semua pertanyaan yang dulu pernah memenuhi pikirannya kini telah terjawab sudah, tapi jawaban itu tidak akan pernah bisa mengembalikan semua peristiwa yang telah terjadi sebelumnya.
Jed menatap nanar ke arah dua orang yang baru saja ia awasi dari balik tiang selasar yang berdiri kokoh. Ia mendengar dengan jelas apa yang baru saja mereka perbincangkan kata per kata nya. Ternyata cowok berkaca mata itulah yang telah membuat kakaknya meradang padanya beberapa waktu yang lalu. Mendadak perut nya terasa mual, jadi selama ini ia telah menuduh Rein dengan kata katanya yang tajam, menjauhi nya, bahkan mengatakan kepada orang lain dusta yang hanya membuat ego nya terpuaskan sementara.
Dan itu adalah hal yang sangat memalukan. Jed tahu ia begitu menyukai Rein tapi ia sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk menghadapi semua hal yang menyertainya. Nara kakak nya menambah panjang daftar itu, ia memang tidak layak untuk Rein. Dan kini Rein jelas jelas telah membencinya. Jed merasa menjadi seorang pecundang. Ia termenung menyandarkan punggungnya di balik salah satu tiang selasar, semua nya telah berakhir.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Cinta Kala Senja
Teen FictionKisah Cinta ala anak kuliyahan Yang Rumit Antara Rein Dan Jed Mereka Mempunyai Perasaan Yang Sama Namun Mengapa Rein suatu saat Selalu Menghindari Jad ? Mampukah Mereka Bersatu Dan Saling Berjanji Untuk Melewati Senja-Senja Berikutnya Dengan Romant...