Pagi yang dingin, Rein duduk diam di bangku pelataran gedung kuliahnya yang berundak-undak. Kabut tipis masih terlihat enggan pergi ketika sinar mentari ingin segera menggantikan keberadaannya. Ia merapatkan jaket denimnya, telinganya di sumpal oleh earphone yang terhubung dengan SonyWalkman-nya.
Mulutnya terlihat komat-kamit, bukan bersenandung bersama Anthony Kidies menyanyikan lagu kesukaan Aksan, My Friends, melainkan mengunyah dan membuat gelembung demi gelembung dari permen karet yang beberapa menit lalu ia masukkan ke dalam mulutnya. Tak lama Mayang datang memeluk binder kesayangannya dan tersenyum lebar kepada nya.
"Ada salam dari Jed." Mayang menepuk pundak Rein.
"Jed siapa?" Rein menyipitkan matanya. Permen karet di mulutnya masih setia berada di sana, walaupun rasa manisnya telah pergi entah kemana. Bagi Rein, permen karet adalah salah satu sahabat setia nya. Selalu ada beberapa bungkus permen karet yang bersemayam di tasnya. Hampir semua jenis permen karet sudah ia rasakan, dari yang berbentuk bulat, persegi, lonjong, tebal, tipis sampai yang ukurannya kaki. Pagi, siang, sore malam terus mengunyah, melebihi dosis minum obat. Untuk kesehatan wajah dan mulut, terangnya, bila ada yang protes soal itu.
"Your dejavu boy." Mayang berbisik, pelan tapi pasti. Senyum tulus mengembang di bibirnya yang dipoles lipstick warna nude tipis-tipis.
"Apa?" Rein berteriak histeris, terkejut bagai tersengat listrik. Ia terloncat dari duduknya, binder, agenda, pulpen, tip ex, semua ikut berhamburan. "Serius?"
"Tadi pagi aku ketemu dia." Mayang memainkan ujung rambutnya kalem.
Rein bengong namun tak henti mengunyah permen karet ungu kaki-an nya yang warnanya telah menetap di lidahnya.
"Salamin lagi gak?" Mayang mulai menggoda Rein dengan senyuman khasnya.
"Ehem, setelah ditimbang-timbang."
"Halah, kelamaan kali pakai ditimbang-timbang segala, memangnya di Posyandu apa?" protes Mayang.
"Loh segala sesuatu tuh kan harus di timbang-timbang memangnya bikin kue aja, yang kayak gini juga harus di timbang, baik buruk, berat ringan."
"Halah, salamin lagi ya." Mayang mulai emosi.
"Yap." Seru Rein pendek. Mendadak hatinya kini dipenuhi bunga, merekah, dan menebarkan wangi yang menenangkan bagaikan aroma sabun batangan yang baru saja di buka dari bungkusnya.
Begitulah Jed mengawali semuanya, awal yang sangat cerah, secerah musim kemarau kala ini, tapi Rein tak pernah tahu apa yang menantinya di kemudian hari.
***
Siang itu Rein tidak sengaja bertemu Jed di depan kantor pos. Sebenarnya tidak cocok menyebut ruangan berukuran 3 x 4 meter itu sebagai kantor pos, apalagi stafnya hanya terdiri dari satu orang bapak dengan wajah kesepian. Mungkin sebutan yang cocok adalah konter pos. Tapi sudahlah yang penting di tempat itu para pecinta jasa pos dapat mengirimkan surat, wesel, telegram dan kartu lebaran ke tujuan dengan cepat dan akurat. Kebetulan, hari itu Rein hendak berkirim surat untuk teman korespodensinya, Sendi yang tinggal hanya beberapa kilometer dari kampusnya.
Rein sedikit terkejut ketika pundaknya ditepuk seseorang dari belakang.
"Halo Rein, sendiri aja." Jed setengah tersenyum dan setengah nyengir, mimik mukanya abstrak bagaikan lukisan Afandi.
"Eeh, hei, gak kuliah?" Tanya balik Rein dengan raut wajah yang lebih aneh dibandingkan dengan lukisan Pablo Picasso yang beraliran kubisme itu.
"Perasaan, aku tadi lihat Indra lagi nongol nongol di gedung depan, kamu satu kelas sama Indra kan?" sambung Rein, Indra adalah salah satu teman bimbingan belajarnya dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Cinta Kala Senja
TeenfikceKisah Cinta ala anak kuliyahan Yang Rumit Antara Rein Dan Jed Mereka Mempunyai Perasaan Yang Sama Namun Mengapa Rein suatu saat Selalu Menghindari Jad ? Mampukah Mereka Bersatu Dan Saling Berjanji Untuk Melewati Senja-Senja Berikutnya Dengan Romant...