34

8 3 0
                                    



Semenjak mengakhiri hubungannya dengan Shia,  setiap hari Rein berdiam diri di perpustakaan. Ia senang memandangi wajah ramah pak Soma yang tengah melayani beberapa mahasiswa yang itu-itu saja dan memperhatikan satu dua orang yang berada di sana alih alih membaca novel atau buku yang ia sukai.

Perpustakaan yang sepi, sesepi hatinya.  Hubungan Rein dengan Shia telah berakhir meninggalkan jejak yang menghitam.  Kebenaran yang terungkap secara tiba-tiba membuatnya seperti berada di bibir jurang yang dalam. Mungkin ini juga yang dirasakan oleh Ibunya, ketika Ayahnya pergi ke pelukan wanita lain. Tapi Ibunya masih bertahan. Sebenarnya Rein kecewa akan sikap Ibunya, tapi itulah orang tua, selalu mencoba bersabar walaupun terasa sakit, demi anak-anaknya.

Sedangkan Rein, tidak ada yang harus dipertahankan dari seorang Shia.  Awal yang indah dengan akhir yang gundah.  Bagi Rein, Shia adalah sejarah.

Rein menatap dua orang mahasiswa dan mahasiswi yang ada di hadapannya, wajah-wajah cerah tanpa gurat persoalan.  Rein sadar, sebenarnya dirinya sendirilah yang menyebabkan semua masalah yang bergumul dalam hidupnya tak mau pergi, bukan  Ayahnya, bukan Shia, bukan sahabat-sahabatnya.  Rein tahu dirinyalah yang harus memperbaiki diri, menerima semuanya dengan lapang dada.  Benar apa yang dikatakan Senny bahwa setiap masalah pasti ada hikmahnya.  Ia harus bisa menghadapinya sendiri, toh lahir dan mati pun ia sendiri, lalu mengapa ia harus meratap karena kini tidak ada satu orang pun berada di sekelilingnya.

Beberapa minggu ini Rein bertingkah bak vampire. Setiap pulang kuliah ia langsung bersembunyi di sarangnya yaitu perpustakaan.  Rein merasa dunia luarnya kini menjadi sangat tidak menarik untuk di singgahi. a lebih memilih untuk menyepi bersama kesendiriannya. Kini jarum jam di perpustakaan menunjuk di angka 5, Rein beranjak dari duduknya, membereskan buku-buku nya, tersenyum dan mengangguk kepada pak Soma lantas berlalu dari perpustakaan.

Suasana kampus sore itu begitu lengang, kelas sore belum banyak yang keluar.  Rein melangkahkan kakinya ringan. Ia tidak ambil pusing ketika salah satu tali sneakers-nya terurai yang menyebabkan lecutan-lecutan kecil pada kakinya. Karena irama berjalannya terlalu cepat membuat kaki kirinya menginjak tali yang terurai dan akhirnya ia pun terjatuh.

Rein meringis merasakan lututnya yang bergesekan dengan aspal yang keras.  Sejenak ia terduduk sambil mengikat tali sepatunya. Tak lama ada sepasang sepatu yang muncul tiba-tiba.  Jantungnya berdegup kencang, sepatu berwarna putih dengan logo yang sangat familiar itu seakan ingin menerkamnya. Ia tak kuasa menatap wajah sang pemilik sepatu. Dengan susah payah ia beranjak dari duduknya, sementara sebuah tangan yang terulur tak dihiraukannya.  Tanpa mengeluarkan sepatah kata Rein berjalan dengan cepat, meninggalkan seseorang yang kini memanggil namanya dengan nyaring.

"Rein!"

Rein merasa sangat tidak nyaman, di belakangnya ada Shia yang mengejarnya.

"Rein!" Shia berteriak lagi.

Rein masih membisu, ia memeluk erat tas tote blacunya berharap tas itu dapat menjadi sebuah perisai untuk meredam detak jantungnya.

"Rein aku mau ngomong sama kamu."  Shia memburu Rein, sementara gadis itu tetap berjalan sambil menggelengkan kepalanya.

"Rein, please sebentar aja."

Rein teguh dalam pendiriannya.

"Reinaka!" Baru saja Shia akan menggapai bahunya,  tiba-tiba ada seseorang yang muncul dihadapannya.

"Rein? Baru pulang?" Sebentuk wajah dengan bintik-bintik merah di pipi tersenyum  lebar padanya.

Rein menganguk, ada satu perasaan lega dalam hatinya. Jimmy melihat Shia yang berada di belakang Rein. Jimmy tahu bahwa hubungan antara Rein dan Shia telah berakhir.

Janji Cinta Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang