18. HARUS PUTUS?

593 89 1
                                    


Air mata Raya tumpah begitu masuk kamar. Terlebih manakala hendak mematikan laptopnya, sapuan lembut di pad membangunkan layar menampakkan potret bahagianya bersama Mondy.
😨😥😥😥😥

Beberapa pose mereka di lingkungan kampus dan terakhir foto malu-malu mereka yang lucu dan romantis di acara pernikahan Ranty.

Pilu rasanya memandang wajah Mondy dengan senyum khasnya, senyum yang telah meluluhkannya, senyum yang begitu ia rindukan, senyum yang mau tak mau harus segera ia hilangkan dari dalam ingatan. 

Air matanya kian deras, hingga disekanya berulang kali.

Ia bahkan harus menarik nafas panjang berulang meski itu tak banyak membantu.

Dering telpon dari Cindy menghentikan isak tangisnya. Ia menenangkan diri sebelum mengangkat panggilan dari Cindy.
Pada panggilan ke 4, Raya baru merasa siap mengangkatnya.

"Lama amat. Lo dari mana aja si? Sampai panggilan ke 4 baru Lo angkat! Bete gue!" Kesal Cindy begitu tersambung.

"Iya maaf," jawab Raya pendek. Ia masih menenangkan diri tak ingin sahabatnya curiga kalo ia habis menangis.

"Kok suara Lo...," suara Cindy tertahan, "Lo habis nangis ya Ray?" tebak Cindy

"Enggak!" Jawab Raya cepat.
"Lagi gak enak badan baru bangun tidur Oahm....," jawabnya asal sambil pura-pura menguap.
"Oahm... Ada apa Cin?"

"Eh Ray, gue mau kasih tahu Lo! Si Meta udah gercep lho! Dia juga udah ngerasuki pikiran anak-nak BEM buat benci Lo dan lebih parahnya lagi semuanya kompak, yang gue denger di kantin sih ... Tadi Jodi bilang, mau tak mau Mondy harus mau putusin Lo!" cerocos Cindy berjeda sesaat.

"Ih maksa banget kan mereka? Betewe, Lo gak telpon Mondy? Jelasin semuanya, sebelum dia tau dari orang lain Ray?" usul Cindy.

"Maksud Lo, gue harus cerita ke Mondy kalo kemungkianan papa gue tersangkut kasus? Gak.... Gak Cin." Tolak Raya.

"Tapi Ray...."

"Gue gak sanggup. Gue gak siap dengan jawaban Mondy. Gue masih bisa terima orang lain menghina, menghujat papa. Tapi gue gak bakal bisa terima kalo Mondy melakukannya." Lanjut Raya dalam hati.

"Ray daripada dia dengar dari Jodi atau Meta? Lo telpon dia gih!" paksa Cindy.

"Gue yakin mereka cepat atau lambat bakal ngomporin Mondy buat mutusin Lo. Eh, asal Lo tau aja ya, si Meta itu diam-diam masih menyimpan rasa suka sama Mondy." oceh Cindy lagi.

"So toy Lo!" komen Raya sok santai meski hatinya bergemuruh.

"Ray, ini serius! Gue dengar sendiri tadi dia nelpon Mondy lamaaa sekali, dan bisa jadi jelek-jelekin Lo gitu. Dan menurut gue itu hanya misi pribadinya saja. Ryan bilang emang sejak SMA dia udah ngejar-ngejar Mondy. Bahkan dia pernah minta tolong Ryan buat jauhin Lo dari Mondy karena dia tahu Mondy suka sama Lo."

Raya hanya diam. Mendengar ada cewek yang masih mengejar-ngejar Mondy, suka sama Mondy, atau barisan cewek patah hati baginya sudah biasa, tapi sekarang rasanya sakit.

"Menurut gue, Lo kudu tetap klarifikasi ke Mondy. Jangan sampai ia kehasut oleh temen-temennya itu Ray! Jangan sampai mereka mojokin Lo, dan maksa Mondy buat mutusin Lo!" tegas Cindy.

Raya tersenyum kecut, "Makasih ya Cin...."

"Tapi Sorry nih Cin.... Gue masih ada urusan. Sambung nanti ya, CU?"

KLEK!

Raya segera memutus sambungan lalu melempar asal ponselnya. Dadanya terasa nyeri. Apa penyakit papa menular padanya? Tentu saja tidak.
Raya sadar ia pasti sedang stress.

ANTARA CINTA dan PAPA  (sudah CETAK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang