-Ayo, pulang-

215 46 26
                                    

Adriel Vaira Gerrel

(Revisi)

Gerimis. Vaira langsung mengadahkan tangannya ke langit. "Yah, kok hujan!"

Gadis itu melengkungkan bibirnya ke bawah. Pasalnya, Vaira baru saja keluar dari kawasan mall, tapi sudah mendung saja.

Vaira berlari, menutup kepalanya menggunakan telapak tangan. Coba saja tadi dia membawa payung. Tapi tidak ada yang bisa memperkirakan datangnya hujan bukan? Padahal langit tadi pagi begitu cerah. Sama seperti hatinya sekarang. Tidak ada yang bisa menduga orang seperti apa yang nantinya akan membuat degup jantungnya terus dapat berdetak.

Vaira tak melihat tempat teduh lain di sekitar sini, kecuali di bawah sebuah pohon rindang. Itupun mungkin tubuhnya akan basah sedikit. Vaira melepas ranselnya dari punggung, membuat tasnya sebagai tameng diatas kepala dari guyuran hujan. Namun baru ia sampai di bawah pohon tersebut, bajunya malah kecipratan air lumpur di jalan ketika sebuah mobil melintas di depannya. Sungguh hari yang buruk.

"Waaaa! Bajunya jadi kotor semua!" Vaira menatap ke arah seragamnya. Yang tadinya berwarna putih, kini berubah warna menjadi coklat. Vaira mendengus lalu menghirup napas berulang-ulang dengan cepat. Kebiasaan Vaira jika sedang mengatur emosinya.

Namun baru beberapa helaan napas, terlintas dalam benak Vaira waktu Gerrel dan dia berlomba bersama-sama menuju ke kelas dengan cara jalan cepat. Vaira tersenyum tipis. Ia merindukan hal itu, terutama orang yang menciptakan ingatan itu. Kemudian terlintas Ayu yang sering menarik tangannya kala dirinya tidak sengaja melihat kumpulan aggota Q-Lovers. Dan yang terakhir, muncul di ingatannya soal Adriel. Entah kenapa mata Vaira tiba-tiba mengabur. Muncul genangan air di pelupuk matanya.

Vaira terisak pelan.

Gadis itu diam sejenak, menatap kearah sepatunya. Dingin. Tubuh Vaira kedinginan karena sekarang basah kuyup oleh hujan yang semakin deras dan cipratan air lumpur yang sudah membasahi semua baju seragamnya. Tiba-tiba saja perasaan itu muncul. Dia merasa sendiri, dan kesepian. Tak ada alasan khusus yang membuat matanya tiba-tiba menghangat.

Vaira menangis sambil merunduk. Dadanya kemudian terasa sesak. Ia ingin menangis sejadi-jadinya sekarang. Namun suara hujan menyamarkan isak tangis Vaira. Semakin lama, suara tangis Vaira makin kecil. Vaira terdiam sebentar. Gadis itu merasakan kesepian yang teramat dalam. Lagi. Vaira terjatuh begitu saja dengan posisi kaki yang menahan tubuhnya agar tetap lurus. Gadis itu meringkuk, memeluk lututnya sendiri. Tasnya sudah ia biarkan begitu saja di tanah. Jauh di dalam senyumnya yang sering terulas, terdapat luka yang begitu teramat dalam di lubuk hatinya.

-AVG-

Lima menit berlalu, namun taksi yang ditumpangi Adriel belum juga melaju. Adriel sendiri yang menundanya. Cowok dengan earphone yang tersumpal di telinga itu meminta sopir tersebut untuk menunggu sebentar.

"Enggak jadi jalan dek?"

"Sebentar. Saya ketinggalan sesuatu di dalam." Adriel membuka pintu mobil, bermaksud keluar dari dalam taksi. Cowok itu mengedarkan pandangannya untuk mencari sesuatu.

"Gerimis. Dia bego atau apa?"

Adriel berlari ke parkiran di dekat situ, namun dia tidak menemukan apa yang sedang ia cari. "Jangan-jangan udah pulang?"

Adriel terus berlari, mencari seseorang yang tadi mengucapkan selamat tinggal sebelum pulang. "Pak, liat gadis SMA lewat sini? Rambut panjang sepunggung?"

Seorang bapak-bapak yang ditanyai Adriel menggelengkan kepala. Dia daritadi tidak melihat gadis SMA lewat di depannya. Adriel kemudian mencari ke tempat lain, namun tetap tidak bisa menemukan 'dia.'

Vaira, lo kemana sih! Batin Adriel.

Adriel kembali ke dalam taksi. Berpikir bahwa pasti Vaira sudah pulang. Cowok itu mengacak rambutnya kesal karena melakukan keputusan bodoh. Membiarkan gadis polos seperti Vaira berjalan pulang sendiri ke rumahnya.

"Jalan aja Pak, yang saya cari gak ketemu."

Dari dalam kaca, Adriel bisa melihat antrian panjang diluar, macet karena hujan. Dia hanya mendesah pelan, sesekali melirik layar hpnya. Mungkin nanti Vaira akan mengechatnya. Adriel tetap menunjukkan ekspresi datarnya, seolah-olah masa bodoh dengan orang-orang yang berada di dekatnya. Dilihatnya jam, sudah jam enam sore. Lagipula dirumah, tidak ada yang menunggunya.

"Pak, jalannya pelan-pelan aja."

"Baik." Sopir itu mengangguk. Dengan hati-hati bapak itu memutar stir sampai tiba-tiba seorang pengendara motor mengklaksonnya dari belakang. Bapak itu tersentak kaget dan sedikit melajukan mobil dengan cepat, hingga tidak sadar melewati genangan air lumpur yang cukup tinggi.

Adriel melirik ke kaca, ingin melihat pengendara yang barusan menyalip. Namun bukannya melihat ke arah pengendara motor yang sudah jauh di depan, Adriel malah mendapatkan Vaira yang tengah berdiri di bawah guyuran hujan deras. Berteduh dengan tas sekolah yang daritadi ia keluhkan berat.

"Dasar cewek bodoh." Adriel menyuruh sopir taksi itu untuk berhenti. Membuka pintu mobil tersebut sambil berlari tanpa perlindungan diatas kepala. Tatapan Adriel tidak terlepas dari Vaira. Adriel kemudian melihat Vaira jatuh tersungkur dengan keadaan berjongkok. Cowok itu menggelengkan kepala, tidak mengerti dengan tingkah Vaira yang kekanak-kanakan seperti itu.

"Hujan tapi gak berteduh. Cewek aneh." Adriel membawa jaketnya tadi. Ia kemudian sampai di hadapan Vaira. Namun gadis itu masih menunduk, tidak melihat Adriel yang berada di depannya.

"Lo gila ya, lagi hu-" Kalimat Adriel terhenti saat yang ia dengar adalah isakan tangis Vaira. Cukup terdengar sampai ke telinganya walau hujan deras. Tentu, jarak Adriel yang dekat memungkinkan dirinya mendengar jelas bahwa Vaira sedang menangis.

Adriel diam. Tidak bergerak untuk melakukan apapun. Ia menunggu Vaira hingga selesai menangis. Namun gadis itu tak kunjung membuka matanya, atau sekedar bergerak dari posisinya. Adriel kemudian ikut berjongkok, melihat rupa Vaira sekarang. Rambut dan seragam Vaira yang sudah sangat basah. Cowok itu merasa bersalah meninggalkan Vaira sendirian untuk berjalan pulang. Coba saja tadi ia menahan Vaira untuk pulang sendiri, atau sekedar mengantarkannya pulang dengan taksi yang sama.

Tak ada cara lain, Adriel melebarkan jaketnya, membungkus tubuh Vaira yang sudah menggigil karena kedinginan. Gadis itu tetap tidak bergerak dari posisinya. Adriel menarik kedua tali dibagian leher jaketnya, untuk mengikat kuat agar Vaira terbungkus dengan rapat dalam jaketnya.

Maaf, gue salah. Batinnya. Namun Adriel tidak mengatakan itu. Adriel tidak pernah meminata maaf kepada siapa pun, jadi rasanya masih ganjil. Ia mengambil tas Vaira dan menyampirkannya di bahu kanan.

"Bangun."

Vaira tidak bergeming namun detik berikutnya, tangisnya pecah kembali. Adriel diam tidak tahu mau berbuat apa. Adriel mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk bahu Vaira pelan meski masih terasa aneh melakukan hal semacam ini. "Ayo, gue antar pulang."


🎠

Pliss cek work aku yang satunya lagi, HARSH COUPLE.

Terimakasih sudah membaca chapter ini.

Boleh tydak bintang untuk Adriel?

Lanjut ke part berikutnya yah, komentar kalian moodbooster akuh lho :)





Adriel Vaira GerrelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang