"Kenapa dia tidak mengangkat telfonnya?" Gumam noona Jaejoong, ia terus mondar-mandir di halaman rumah mereka dengan gelisah."Ish, bocah itu dalam masalah besar."
Jaejoong mengamati Yunho dari sudut matanya, kedua tangannya saling bertautan di atas paha.
"Hyung..."
"Jangan katakan apa pun. Aku sedang menyetir." Potong Yunho, datar.
"Tapi..."
"Sudah aku bilang jangan katakan apa pun." Sahutnya lagi, lebih datar dan dingin.
"Tidak adil. Aku bicara menggunakan mulutku sendiri kenapa tidak boleh? Apa salahnya bicara?"
Yunho hanya bisa menghela nafas panjang, memang ia egois dengan menyuruh Jaejoong untuk diam secara sepihak tapi saat ini kepala berputar-putar dan entah apa yang akan dikatakan Jaejoong padanya, yang jelas bisa saja kata-kata Jaejoong menambah isi kepalanya berantakan.
"Baiklah katakan saja apa maumu." Jawab Yunho akhirnya.
"Hyung marah karena ciuman tadi?"
"Tidak."
"Lalu kenapa diam? Apa ciuman tadi tidak enak? Tidak suka?"
"Oh ya Tuhan. Ampuni aku." Batin Yunho.
Ia menghela nafas panjang. "Bukan soal enak atau tidak. Tapi ini bukan hal yang bisa diputuskan hanya dengan sebuah ciuman Jaejoong."
"Kenapa? Aku bisa. Aku semakin berdebar setelah ciuman tadi dan ingin melakukan lebih." Jaejoong diam, menundukkan kepalanya lalu menatap Yunho. "Aku makin yakin kaau aku ingin berada di sisi Yunho hyung. Bukan sebagai murid. Tapi sebagai kekasih. Tidak boleh?"
Ciiiiiitttt
Kaki Yunho memiliki kehendaknya sendiri, menginjak pedal rem kuat-kuat hingga keningnya terbentur kemudi mobil lumayan kuat. Berbeda dengannya yang harus menderita karena tindakannya sendiri, Jaejoong tidak mengalaminya.
"Hyung hati-hati." Ucap Jaejoong.
"Kau pikir aku begini gara-gara siapa huh?!" Bentak Yunho di luar kesadarannya.
DEG!
Yunho terdiam, begitu juga dengan Jaejoong. Mereka dalam mode pause di waktu bersamaan, terkejut dengan atmosfer aneh yang tiba-tiba berada di antara mereka. Di situ Yunho tersadar kalau reaksinya sangatlah berlebihan. Jaejoong hanya remaja polos yang baru pertama kali mengalami ketertarikan emosinal pada orang lain. Ia juga sadar kalau seharusnya ia tidak membentak Jaejoong hanya karena hal sepele.
Helaan nafas berat menguar dari hidung mancung Yunho, meraup wajahnya kasar lalu meyapu rambutnya ke belakang.
"Jaejoong, maafkan aku. Jangan menangis." Katanya kemudian.
"..ren."
"Hah?" Alis tebal Yunho tertaut mendengar gumaman tidak jelas Jaejoong, berharap remaja manis di depannya mengulangi ucapannya lebih jelas.
"Hyung sangat keren."
"Apa??!"
"Aku pikir Hyung tidak pernah bisa marah dan ternyata aku salah. Hyung sangat keren kalau sedang marah." Papar Jaejoong lebih jelas.
Bibir Yunho menganga lebar lalu tertawa keras.
"Hahahaha."
"Eh? Ada yang salah dengan ucapanku?" Tanya Jaejoong kebinggungan.
Tangan Yunho melambai-lambai di udara, ia tidak bisa menjawab karena sibuk tertawa, mengagumi reaksi Jaejoong yang di luar kebiasaan.
"Ahhh," Yunho menghirup nafas panjang, matanya berair karena tertawa. "Mendadak moodku menjadi sangat baik."