06

20.7K 1.7K 58
                                    

Kemuning menyemburat di ufuk timur. Mentari mengintip malu - malu. Langit biru tak ada awan sedikitpun. Embun berkilauan cantik di dedaunan. Angin berlarian lembut menyapa kehidupan.

Di rumah sederhana di sudut kota bandung yang di kelilingi hamparan kebun teh. Sepasang suami istri yang baru menikah meninggali tempat ini untuk bulan madu selama seminggu. Meninggalkan rutinitas pekerjaan suaminya yang memang beradu dengan hiruk pikuk kota metropolitan.

Humaira membuka jendela rumah ini yang ternyata memang rumah hasil jerih payah Arkan untuk dirinya. Yang bisa mereka tinggali dikala dia libur dari rutinitas.

Angin sejuk pegunungan masuk. Humaira mengusap tangannya tanda dia merasakan dingin. Langkahnya langsung membawanya ke dapur, membuka kulkas melihat bahan apa yang ada disana untuk di masak pagi ini.

Tangannya cekatan mengambil sayur - sayuran dan yang lainnya. Suaminya ketiduran di sofa ruang tengah saat dia bertilawah pagi tadi seusai shalat shubuh.

Lumayan lama Humaira berkutat di dapur. Makanan itupun jadi, Dia langsung melangkah ke ruang tengah untuk membangunkan suaminya. Posisi tidurnya tetap terlihat begitu disiplin.

"Kak, Bangun yuk. Ira udah buatin sarapan." Ujar Ira lembut duduk di samping suaminya dan mengguncangkan bahunya pelan.

Mata yang tadi terpejam itu terbuka. Kini, mata tajam itu menatap istrinya. Humaira langsung menundukan wajahnya. Tidak berani menatap wajah itu terlalu lama.

Tidak ada yang berbicara. Humaira menjadi canggung. Setelah mereka menikah Humaira dan Arkan bingung mau melakukan apa. Sifat mereka yang tak banyak bicara membuat mereka kesulitan untuk berinteraksi.

Disaat tidak terdengar suaminya berkata apapun. Humaira memberanikan diri kembali menatapnya dan suaminya itu menutup matanya lagi. Ira tersenyum geli.

"Kak, nanti sop nya dingin." Ujar Ira menggoyangkan pergelangan tangan Arkan.

Tangan suaminya itu bergerak menggenggam tangan istrinya.

"Iya." Jawabnya.

Arkan langsung berdiri dan melangkah ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Kali ini dia terlihat segar. Udara dingin ini membuatnya jadi tidak disiplin terhadap waktu. Arkan langsung menuju ruang makan dimana istrinya ada disana.

Senyum kecil tersungging di wajah seriusnya melihat istrinya sedang menyiapkan sarapan. Setelah dua hari menikah belum ada tahapan yang serius diantara mereka. Untuk bicarapun mereka masih malu.

Arkan berdehem dan duduk di kursi. Ira langsung menyodorkan sarapan di hadapannya. Setelah itu hening, tidak ada yang berbicara lagi.

"Hari ini kita jalan - jalan. Dari dulu aku ingin sekali ke gunung tangkuban perahu." Ujar Arkan setelah menyelesaikan sarapannya.

"Iya, Ira juga belum pernah kesana."

Setelah itu tidak ada percakapan lagi. Ira sibuk membereskan meja makan. Arkan langsung menuju ruang tengah berpikir harus bagaimana ia kepada istrinya. Kalau begini terus tidak baik untuk hubungan mereka berdua. Lelaki yang harus aktif.

Arkan berdehem mendekati istrinya. Tiba - tiba Arkan memeluk Humaira dari belakang. Wajah mereka mendadak memerah. Arkan bingung harus melakukan apalagi. Dia langsung melepaskan pelukannya.

"Akuu, mengganggu ya?. Yaudah selesaikan pekerjaanmu." Ujar Arkan kikuk.

Humaira yang teringat akan nasehat keluarganya dia di haruskan diam untuk menutupi masalah rumah tangganya. Bukan diam mengacuhkan suaminya.

"Kak, sebentar." Ujar Ira lembut.

Arkan berdiri mematung. Istrinya menghampiri dengan senyum merekah di wajah. Dia berdiri di hadapan Arkan lalu melingkarkan tanganya di pinggang suaminya. Kepalanya dia sandarkan di dada suaminya. Arkan tersenyum kecil lalu merengkuh tubuh istrinya  itu erat bahkan menciumi ubun - ubunnya.

Diam Yang TerpilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang