01

27.5K 2K 67
                                    

Awan berarak begitu harmonisnya. Angin bergerak mengikuti harmoni yang diciptakan sang maha kuasa. Dedaunan bergerak mengikuti irama yang tak terdengar oleh pendengaran kita yang terbatas.

Motor sederhana itu terhenti diparkiran sekolah. Seorang gadis remaja turun. Seorang lelaki tampan yang mengendarai motornya membuka helm di kepala perempuan itu.

"Sekolah yang baik Ra. Kamu akan menemukan berbagai hal baru di sini."

Gadis itu mengangguk.

"Terutama pagari hatimu dengan baik." Ujarnya lagi.

"Iya kak, Ira mengerti."

"Ya sudah, Kakak langsung ke kampus. Nanti dijemput lagi."

"Iya. Kakak hati-hati."

Ihsan tersenyum. Mulai menghidupkan motornya kembali dan berlalu setelah mengucapkan salam. Humaira ditinggal sendiri dan entah kenapa dia merasa sedih.

Sudah seminggu dia menjadi murid SMA ini tapi dia tidak mempunyai teman sama sekali. Pribadinya yang tertutup menghalangi geraknya untuk mudah dekat dengan orang lain.

Ira menghela, biarkan saja. Dia masih punya Allah. Dia di sini mau belajar bukan untuk memiliki teman. Ujar hatinya menghibur sendiri. Langkah kecilnya kembali melangkah masuk lebih dalam ke sekolah ini.

Dia duduk dibangkunya. Setelah itu terdiam tidak liat kanan atau kiri. Ira mulai membuka Al-Qur'an kecilnya yang selalu dia bawa kemana-mana. Dia membukanya dan mulai bertilawah dengan suara lirih menunggu bel masuk berbunyi.

"Nialll." Panggil suara nyaring itu. Dia Rianti anak pemilik sekolah ini. Dia begitu ceria, begitu mudah bergaul tapi terlihat tidak memiliki teman perempuan juga di sekolah. Dia kemana-mana selalu bersama kakak-kakaknya atau dengan Nathan.

Humaira pikir dia tidak tahu teman sekelasnya sendiri selain Nathan tentunya karena terlihat selalu asyik dengan dirinya sendiri. Hati Ira berkomentar.

"Astagfirulloh." Ira kembali beristigfar. Hatinya jadi pandai berkomentar tidak jelas sekarang ini.

Ini kebiasan yang tidak baik. Ira harus tetap fokus. Humaira seorang gadis santun yang kritis tapi selalu tidak mau melanggar aturan Allah. Dia begitu hati-hati dalam berkata ataupun bersikap. Didikan orang tuanya membentuknya jadi pribadi yang lembut dan begitu santun.

***

Suara Bel istirahat terdengar diseantero sekolah. Pelajaran yang Ira rasa baru dimulai sudah selesai begitu cepat. Guru yang mengajar pun menutup pelajarannya dan keluar ruangan.

Suasana kelas jadi riuh. Ada yang mengobrol mau makan apa hari ini atau soal kakak kelas tampan incaran mereka. Atau para lelaki yang mulai memukul-mukul meja sehingga menghasilkan suatu irama.

"Kita main basket yuk broo."

Terdengar ucapan teman lelaki sekelasnya kepada temannya yang lain. Ira hanya diam dengan keterdiamannya.

Telinga Humaira mendadak hening. Di saat melihat seseorang yang masuk kedalam kelas dengan tenangnya.

"Tumben belum keluar? Kakak tunggu dikoridor gak muncul-muncul." Tanya suara itu yang terdengar sekali rasa kasih sayangnya.

Riri terlihat menyimpan kepalanya dimeja. Arkan duduk dibangku depannya sambil mengusap kepala Riri pelan. Nathan sudah tidak ada di tempatnya. Lelaki itu memang susah ditebak. Satu spesies sama lelaki yang duduk di depan Riri. Ira rasa.

"Kenapa Dek?" Tanyanya lagi.

"Riri sedang banyak-banyaknya kak. Lemes. Gak semangat. Mau di kelas aja."

Diam Yang TerpilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang